Dinasti Politik Merupakan Suatu Anomali di Era Indonesia Modern
Apakah partai politik saat ini benar-benar mewakili aspirasi rakyat dan sungguh-sungguh menjalankan aspirasi tersebut.
Kaderisasi di partai-partai politik penting untuk regenerasi.
Dinasti Politik Merupakan Suatu Anomali di Era Indonesia Modern
Cendekiawan Prof Komarudin Hidayat menilai bangsa Indonesia telah lama meninggalkan praktik politik dinasti, yang ditandai oleh pengorbanan kesultanan-kesultanan di berbagai wilayah Nusantara demi bertransformasi menjadi sebuah negara kesatuan, dimana kedaulatan terletak di tangan rakyat.
Oleh karena itu, praktik dinasti politik merupakan suatu keanehan atau anomali di era Indonesia modern saat ini.
- Megawati Resah Kondisi Politik Indonesia: Wajah Kekuasaan Kini Lebih Dominan Ditampilkan
- Masyumi Partai Politik Bercorak Islam Era Demokrasi Liberal di Indonesia, Pernah Unggul dari Partai NU
- 'Jangan Persatuan Dinodai karena Mendahulukan Kepentingan Politik'
- Politik Dinasti Disebut Tak akan Berdampak Buruk ke Ekonomi, tapi Ada Syaratnya
"Itu sama dengan tidak memahami sejarah. Mereka (yang menjalankan politik dinasti) tidak memahami masa lalu yang justru mengakhiri dinastiisme," ucap Komarudin, Jumat (26/1).
Menurutnya, untuk membangun demokrasi yang kuat dan kepemimpinan nasional berkualitas, diperlukan mobilitas vertikal yang kompetitif, di antaranya melalui kaderisasi di partai-partai politik.
Namun, pertanyaan kritis yang diajukan Komar adalah, apakah partai politik saat ini benar-benar mewakili aspirasi rakyat dan sungguh-sungguh menjalankan aspirasi tersebut untuk mewujudkan dan merawat negara demokratis.
"Sebab isu yang beredar adalah bahwa partai politik seperti perusahaan. Pemegang saham adalah para pendirinya, ditambah dengan investor dari kalangan oligarki. Di sini, ikatan negara dan warga negara menjadi terputus," katanya.
Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia, Ray Rangkuti, menyatakan bahwa praktik dinasti politik di Indonesia semakin merajalela. Sampai tahun 2020, tercatat setidaknya ada praktik tersebut di 117 daerah di Indonesia, di mana kepala daerahnya merupakan produk dari dinasti politik.
"Ini hampir setara dengan 20% dari total daerah di Indonesia. Jika tidak ada penghambatan atau kampanye melawan yang serius, maka pada Pilkada serentak 2024 ini, angkanya bisa mencapai 25%," katanya.
Pemerhati isu-isu strategis dan global,Dubes Imron Cotan sepakat dengan Komaruddin Hidayat bahwa proses rekrutmen politik di Indonesia kembali ke pola lama yang berdasarkan garis keturunan. Situasi tersebut memunculkan kekhawatiran besar dari berbagai kalangan, baik dari dalam dan luar negeri.
Keprihatinan tersebut sudah diutarakan oleh para tokoh bangsa dipimpin oleh Ibu Sinta Abdurrahman Wahid dan Quraish Shihab, bahkan jugs dari kalangan internasional.
"Banyak sekali artikel tulisan seperti yang dimuat The West Australian, The Guardian, The New York Times, Lowy Institute, dan The Economist, mereka mengutarakan ada keguasaran melihat salah satu negara demokrasi terbesar di dunia sedang mengalami proses rekrutmen politik yang bermasalah," ungkap Imron.