Dirut PT Kobo bantah beri gratifikasi pada wartawan soal Lippo Grup
Dirut PT Kobo bantah beri gratifikasi pada wartawan soal Lippo Grup. Dalam kesaksiannya Slamet mengaku mengirimkan proposal kepada direktur First Media, yang masih anak perusahaan Lippo Group, Paul Montolalu untuk membuat pencitraan positif terhadap isu Lippo dan mantan Sekretaris MA Nurhadi.
Direktur Utama PT Kobo Media Spirit Stefanus Slamet Wibowo membantah memberikan gratifikasi kepada wartawan terkait pemberitaan Lippo Group dan mantan Sekretaris MA Nurhadi.
"Saya pastikan dan yakinkan kepada seluruh pimpinan media massa khususnya media cetak bahwa tidak sepeserpun dana mengalir ke pribadi pekerja media sebagai gratifikasi atas ada-tidaknya pemberitaan terkait klien kami," kata Slamet seperti dikutip dari Antara, Kamis (20/10).
Kemarin, Slamet menjadi saksi dalam perkara panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution yang dalam perkara ini didakwa menerima uang Rp 1,5 miliar, Rp 100 juta, 50 ribu dolar AS dan Rp 50 juta untuk mengurus tiga perkara perusahaan Grup Lippo di PN Jakarta Pusat.
Dalam kesaksiannya Slamet mengaku mengirimkan proposal kepada direktur First Media, yang masih anak perusahaan Lippo Group, Paul Montolalu untuk membuat pencitraan positif terhadap isu Lippo dan mantan Sekretaris MA Nurhadi. Slamet mengirimkan surat elektronik berisi nama-nama media cetak dengan nominal angka tertentu. Bila proposal itu disetujui maka ada tim bernama pawang untuk mengerjakan pencitraan positif tersebut.
"Tentang tayangan barang bukti yang dimunculkan dalam persidangan di mana di dalamnya disebut beberapa nama media cetak adalah suatu 'Proposal' yang saya ajukan kepada klien kami, Paul Montolalu. Sebagaimana dijelaskan di persidangan, proposal tersebut memiliki kemungkinan untuk ditolak, disetujui namun usulan biayanya dikoreksi atau didiskon atau disetujui namun karena berbagai pertimbangan dan kendala justru tidak atau belum dibayar," ungkap Slamet.
Sedangkan mengenai tim pawang, menurut Slamet bila proposal tersebut disetujui, maka pembayaran dilakukan secara tunai oleh klien.
"Kemudian saya distribusikan ke Tim Rekaan saya yang disebut 'Pawang'. Pada kenyataannya, dana yang diterima pawang akan dikembalikan kepada saya dan saya gunakan untuk membiayai Yayasan yang saya dirikan dan kelola sejak 2005. Pelayanan Yayasan secara random tersebar antara lain di Jakarta, Banten, Makassar, dan Bandung," tambah Slamet.
Pembayaran itu menurut Slamet dialokasikan sekitar 10 persen untuk murni biaya 'media relations' seperti biaya makan, minum, 'gathering', bantuan perjalanan dinas wartawan, pendidikan anak dan bantuan biaya pengobatan.
"Saya menyebut angka 10 persen dengan maksud bahwa sebagian besar pembayaran klien akan saya manfaatkan melalui yayasan yang sudah sangat jelas target market dan needs-nya. Seingat saya, di BAP saya menyebut 'budget media relations' saya untuk 'entertainment' adalah Rp 10 juta per bulan," jelas Slamet.
Pencitraan yang dilakukan bahkan menurut Slamet berdasarkan fakta misalnya mengupayakan keseimbangan isu atau hak jawab bagi klien.
"Untuk isu yang belum tayang di media, saya mengupayakan permintaan penundaan dengan maksud memberikan kesempatan kepada klien untuk menyiapkan bantahan sehingga memenuhi 'cover both-sides'," ungkap Slamet.
Slamet juga meminta maaf atas kesaksiannya pada persidangan Rabu (19/10) kepada semua pihak baik individu para pekerja media maupun lembaganya yang sudah terganggu, terlukai dan terzolimi akibat tindakannya.
"Saya sungguh menyesal atas apa yang sudah terjadi dan berusaha tidak mengulangi lagi termasuk akan mencoba mencari alternatif 'survival' dengan cara hidup yang lain. Saya berharap para pekerja media baik secara individu maupun kelembagaan dapat memaafkan saya. Apa yang saya lakukan semata-mata adalah pelayanan kepada klien yang kebutuhan dan situasinya rumit sehingga memaksa saya mengambil langkah kerja seperti ini," tandas Slamet.