Ditemukan, makam 24 korban pembantaian 1965 di Semarang
Dari ke-24 nama korban pembantaian 1965, delapan jenazah dapat dikenali.
Sebanyak 24 korban tragedi 1965 Senin (1/6) siang hingga menjelang petang tadi menjalani proses pemasangan batu nisan dan doa bersama di tempat ditemukannya makam korban tragedi 1965 di Kampung Plumbon, Kelurahan Wonosari, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang, Jawa Tengah. Dari ke-24 nama korban pembantaian 1965, delapan korban yang dikenali, mereka adalah Moetiah, Seosatyo yang merupakan mantan Bupati Kendal pada masa itu, Doelkhamdi, Joesoef, Soekandar, Sjachroni dan Soerono.
Hadir dalam acara prosesi pemasangan batu nisan dan mendoakan ke-24 korban tragedi 1965 itu diantaranya Romo Aloys Budi Purnomo, Ketua Banser Jateng Hasyim Ashari, Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Semarang (Unes) Prof Warsino, Lurah Wonosari Sulistyo, Wakil Kepala Perhutani KPH Perhutani Kendal Rofi Trikuncoro. Serta pihak perangkat desa dari RT hingga RW di Kampung Plumbon juga ikut hadir dalam acara tersebut.
Ikut hadir dan mendoakan juga keluarga dan keturunan empat korban dari 24 korban tragedi 1965 yang dimakamkan di situ di antaranya korban Sjahroni, korban Joesoef, korban Soekandar dan korban Darsono. Nampak juga puluhan mahasiswa dari tujuh kampus ikut proses pemasangan batu nisan dan mendoakan korban tragedi 1965 tersebut. Mereka mahasiswa berasal dari kampus Universitas Negeri Semarang (Unnes), kampus Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, kampus Universitas Wahid Hasyim (Unwahas), kampus Universitas 17 Agustus (Untag) Semarang, Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang dan kampus Magister Manajemen Universitas Katholik Satya Wacana (UKSW) Salatiga.
Prosesi acara pemasangan batu nisan yang diprakarsai Perhimpunan Masyarakat Semarang Untuk Hak Asasi Manusia (PMS-HAM) itu diawali pemasangan batu nisan. Kemudian memberikan kesempatan keturunan dan keluarga korban untuk berdoa.
Suasana haru kemudian terjadi saat Romo Aloys Budi mengiringi dengan saxophone alunan doa yang dikumandangkan oleh H Hambali dari Kendal secara khusyuk dan fasih. Tak pelak, puluhan dari ratusan pengunjung yang hadir ikut meneteskan air mata saat doa dan alunan saxophone itu memecah keheningan hutan Plumbon yang di kelola oleh KPH Perhutani Kendal, Jawa Tengah.
"Ini bukti bahwa antara yang hidup dan meninggal ada tali dan keterikatan bathin. Sehingga, suasana haru, bahagia dan sedih bercampur dan muncul saat prosesi pemasangan batu nisan dan doa berlangsung," ungkap Sejarawan Prof Wasino kepada merdeka.com Senin (1/6).
Koordinator Perhimpunan Masyarakat Semarang Untuk Hak Asasi Manusia (PMS-HAM) Yunantyo Ady menegaskan, langkah ini merupakan bentuk kepedulian dan memanusiakan jenazah dan menghargai korban tragedi 1965. "Tanpa memandang latar belakang ideologi, politik, dan agama jenazah korban tragedi PKI tersebut," ungkapnya.
Momen peringatan Kesaktian Pancasila yang jatuh pada hari ini, 1 Juni 2015 untuk melakukan upaya proses rekonsiliasi atas masa lalu. "Supaya peristiwa dan sejarah itu tak terjadi kembali. Saat ini, sedikitnya ada sebanyak 500 ribu sampai tiga juta korban tragedi PKI tanpa proses pengadilan yang jelas mereka dieksekusi tanpa mengetahui apa kesalahan mereka," jelasnya.
Wakil Kepala Perhutani KPH Kendal Rofi Tri Kuncoro santa mengapresiasi langkah yang diambil oleh masyarakat yang di bawah koordinasi PMS HAM melakukan prosesi pemasangan batu nisan terhadap korban tragedi 1965 yang berada di atas wilayah Perhutaninya.
"Kami sangat mengapresiasi karena sebelum melakukan kegiatan pihak panitia telah berkoordinasi dengan kita. Kita tidak keberatan dan mengizinkan jika ada pihak keluarga korban dan masyarakat lain yang mengunjungi, mendoakan makam yang berukuran 5 meter kali 10 meter di atas tanah kita sebagai pengelola," paparnya.
Ke depan, PMS HAM berharap Komnas HAM bersama lembaga rekonsiliasi bisa melakukan upaya rekonsiliasi dan memastikan siapa saja 24 jenazah korban tragedi 1965 tersebut. Meski ke-8 korban lainnya sudah dikenali namun perlu adanya proses secara pasti dan langkah serius dari pemerintah.
Mulai dari pembongkaran kembali kuburan dam proses identifikasi dengan otopsi serta penguburan kembali yang layak jasad 24 korban yang masih bertumpukan berada di dalam satu liang lahat tersebut.
"Makanya kami hanya memasang batu nisan dan mendoakannya saja karena kita tidak berani membongkar makam takut bisa menghilangkan barang bukti dan melanggar undang-undang dan aturan yang ada," pungkas Yunantyo Adi yang juga merupakan Ketua Panitia kegiatan tersebut.