DKPP Nilai Tak Ada Lagi Negara Terapkan Sistem Presidensial-Parlementer Secara Murni
Didik menerangkan, presidensialisasi sistem parlementer terjadi di beberapa negara di Eropa. Salah satu modifikasi dari sistem ini adalah pengetatan mosi tidak percaya kepada kabinet.
Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Didik Supriyanto, mengatakan tidak ada lagi negara yang menerapkan sistem presidensial atau pun sistem parlementer secara murni.
"Setelah Uni Soviet jatuh, karakter parlementer atau presidensial itu kan sudah banyak berubah. Sehingga, di kalangan akademisi muncul istilah presidensialisasi sistem parlementer dan parlementarisasi sistem presidensial," kata dia, Kamis (22/4).
-
Apa yang dimaksud dengan Pantarlih Pemilu? Pantarlih Pemilu adalah singkatan dari Panitia Pemutakhiran Data Pemilih. Pantarlih Pemilu memiliki peran penting dalam proses pemutakhiran data pemilih dalam rangka penyelenggaraan pemilu. Para anggotanya juga memiliki tugas penting selama proses Pemilu.
-
Kapan Presiden Jokowi meresmikan Bandara Panua Pohuwato? Presiden Joko Widodo atau Jokowi meresmikan Bandar Udara Panua Pohuwato di Provinsi Gorontalo.
-
Apa yang diusulkan Mentan kepada Presiden? Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengusulkan kepada presiden penambahan kuota pupuk bersubsidi.
-
Mengapa Aming dijuluki Presiden Penyair Jawa Timur? Keluarga jadi salah satu faktor terpenting bagi seorang anak. Hal ini dirasakan Aming Aminoedhin, seniman yang dijuluki Presiden Penyair Jawa Timur.
-
Apa usulan Bamsoet terkait ide Prabowo soal presidential club? Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo alias Bamsoet, mengusulkan agar Dewan Pertimbangan Agung dihidupkan kembali. Hal itu, menyusul adanya ide Presiden terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto soal pembentukan presidential club.
-
Kapan pengumuman calon wakil presiden Ganjar Pranowo? PDI Perjuangan bersama partai koalisi secara resmi mengumumkan nama bakal calon wakil presiden Mahfud MD untuk mendampingi Capres Ganjar Pranowo, Rabu, 18 Oktober 2023.
Didik menerangkan, presidensialisasi sistem parlementer terjadi di beberapa negara di Eropa. Salah satu modifikasi dari sistem ini adalah pengetatan mosi tidak percaya kepada kabinet.
"Dulu, begitu mayoritas parlemen tidak setuju dengan kabinet, ya sudah dijatuhkan melalui mosi tidak percaya," tambah dia.
Dalam kasus ini, jika kabinet hendak dijatuhkan maka oposisi harus menyiapkan pemerintahan baru terlebih dahulu, termasuk menunjuk Perdana Menteri baru yang akan menggantikan. Barulah kabinet bisa dijatuhkan. Apabila prasyarat itu tidak dipenuhi, oposisi tidak bisa menjatuhkan mosi tidak percaya kepada kabinet.
Kedua, tambah Didik, ciri dari presidensialisasi sistem parlementer ini adalah pengetatan pembubaran parlemen, menjurus ke masa kerja parlemen yang tetap (fixed term). Corak ketiga dari sistem ini adalah, persetujuan resmi atas pembentukan kabinet.
Terakhir, menurut Didik, modifikasi sistem ini membuat adanya upaya penguatan tanggung jawab kolektif atau yang disebut dengan ministerial code atau cabinet manual.
Inovasi konstitusi yang menyebabkan modifikasi sistem pemerintahan itu, ujar Didik, diikuti juga oleh inovasi pemilu, yaitu menerapkan sistem pemilu campuran (MPP dan Paralel).
"Dengan sistem pemilu ini, ada kemungkinan 1 atau 2 partai menguasai 70 persen kursi, tetapi partai-partai kecil tetap punya peluang masuk ke parlemen.
Sementara konsep parlementarisasi sistem presidensial juga membawa konsekuensi politik, di antaranya adalah peningkatan fungsi kecaman parlemen, penghentian presiden melalui mekanisme declaration of incapacity, penghentian presiden melalui mekanisme impeachment, dan pembentukan koalisi partai politik pendukung presiden di parlemen.
"Di sistem presidensial itu gak lazim ada koalisi, kenapa gak lazim? Contohnya Amerika Serikat, mereka gak kenal koalisi karena partainya cuma dua (pemilu mayoritarian). Tapi Amerika Latin, sejak tahun 1980-an itu mulai muncul koalisi, karena kalau tidak koalisi akan buntu dan bakal diambil alih militer," kata Didik, mencontohkan koalisi partai politik dalam parlementarisasi sistem presidensial.
Ada pun modifikasi parlementarisasi sistem presidensial ini, akan berdampak pada inovasi Pemilu, yaitu penyelenggaraan Pemilu presiden dan parlemen secara serentak.
Terkait dengan wacana menerapkan lagi sistem parlementer, Didik mewanti-wanti. Baginya, dalam konteks Indonesia, tantangan berat dalam penerapan sistem parlementer adalah mencari simbol pemersatu bangsa, mengingat sistem itu akan melahirkan dua pemimpin penting negeri.
"Nah, presidensialisme yang menghasilkan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, dia tidak hanya simbol, tapi dia punya kekuatan untuk menyatukan republik ini. Kalau parlementer, pertanyaannya adalah, siapa yang akan melakukan itu (sosok perekat bangsa)? Atau bagaimana cara kita memilih orang untuk itu? Kalau di Inggris kan ada Raja," ujar pendiri Perludem itu.
Selain Didik Supriyanto, diskusi yang dimoderatori Juru Bicara DPP PSI, Faldo Maldini, turut menghadirkan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Prof Ramlan Surbakti dan sejarawan Anhar Gonggong.
Dalam pengantar diskusi, Plt Sekjen DPP PSI, Dea Tunggaesti, mengajak publik untuk memikirkan ulang sistem parlementer, termasuk menggelar diskusi yang melibatkan para pakar.
"Tema diskusi hari ini lahir dari pembicaraan internal di DPP PSI. Kami beranggapan, setelah lima pemilihan umum berjalan demokratis, saatnya kita bicara tentang bagaimana cara memperkuat demokrasi dan melahirkan stabilitas kebijakan dan politik jangka panjang," kata Dea .
PSI ingin mendorong percakapan politik menjadi lebih substantif dan sesuai kepentingan publik. Kepentingan publik dalam hal ini adalah bagaimana pemerintahan berjalan efektif dan di sisi lain demokrasi terjaga. Sejumlah kelemahan sistem presidensial telah dipaparkan Dea dalam video yang ditayangkan di akun media sosial DPP PSI sejak akhir pekan lalu.
Baca juga:
Sistem Presidensial Punya Sejumlah Kelemahan, Ini Penjelasan Guru Besar Unair
PSI Wacanakan Memikir Ulang Sistem Presidensial jadi Parlementer
Hidayat Nur Wahid: Presidential Threshold Harus Ditinjau Ulang
Dorong PT 0 Persen, Demokrat Tegaskan Bukan Karena Ingin Usung AHY Jadi Capres
Gelora: Ambang Batas Parlemen 4% Saja Hanguskan 15,6 Juta Suara Rakyat
RUU Pemilu: Gerindra Setuju Ambang Batas Parlemen 5%, Pencalonan Presiden 20%