Eks Gubernur Kepri Minta MK Hapus Aturan Larangan Mantan Gubernur Jadi Cawagub
Isdianto dilantik sebagai Gubernur Kepri oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Kepresidenan Jakarta pada 27 Juli 2020.
Isdianto dilantik sebagai Gubernur Kepri oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Kepresidenan Jakarta pada 27 Juli 2020.
- Ini Pesan Presiden Jokowi ke Pj Gubernur Kaltim soal HUT RI di IKN
- Jokowi Terbang ke IKN Hari Ini, Tinjau Kesiapan Istana, Kantor Presiden hingga Tempat Upacara 17 Agustus
- Terungkap, Alasan Jokowi Gelar Upacara 17 Agustus di IKN dan Istana Jakarta
- Tak Hanya di IKN, Upacara 17 Agustus 2024 Juga Digelar di Istana Jakarta
Eks Gubernur Kepri Minta MK Hapus Aturan Larangan Mantan Gubernur Jadi Cawagub
Mantan Gubernur Kepulauan Riau (Kepri), Isdianto mengajukan gugatan terhadap Undang-undang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Isdianto meminta agar MK menghapus aturan calon wakil kepala daerah yang belum belum pernah menjabat sebagai kepala daerah pada daerah yang sama.
Dilhat dari situs MK, Kamis (20/6), Isdianto menggugat pasal Pasal 7 ayat (2) huruf o Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Pasal yang digugat adalah huruf o yang berbunyi 'belum pernah menjabat gubernur untuk calon Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota untuk Calon Wakil Bupati/Calon Wakil Walikota pada daerah yang sama'.
Isdianto menilai frasa 'belum pernah menjabat' membuat ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf o UU Pilkada mengandung ketidakpastian hukum, karena tidak membuat batasan yang jelas apa ukuran waktu menjabat dari masa jabatan Kepala Daerah.
Dia juga berpendapat ketentuan Pasal 7 huruf o memiliki ketidakjelasan tafsir. Menurutnya, norma pasal ini tidak jelas karena dalam hal jabatan apa yang dimaksud batasannya. Dalam arti Apakah belum pernah menjabat sebagai gubernur, bupati, wakil gubernur, wakil bupati, walikota, atau wakil walikota.
Isdianto sendiri adalah Wakil Gubernur Kepri dan menjadi Plt Gubernur Kepri dan Gubenur Kepri menggantikan Nurdin Basirun yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Isdianto dilantik sebagai Gubernur Kepri oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Kepresidenan Jakarta pada 27 Juli 2020 dan masa jabatannya berakhir pada 25 Februari 2021
Berikut dalil dalil permohonan Isdianto:
1. Bahwa ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf o UU 10/2016 mengandung problematika hukum sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011) karena tidak mencerminkan asas pembentukan peraturan yaitu kesesuaian materi muatan dan tidak mencerminkan asas materi muatan peraturan yaitu kebangsaan, kekeluargaan, keadilan, dan kesamaan kedudukan dalam hukum
2. Bahwa Mahkamah menyatakan hak konstitusional warga negara, yakni memiliki hak untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) merupakan hak yang dijamin konstitusi, undang-undang, dan konvensi internasional. Karena dijamin konstitusi, maka tindakan apapun selama warga negara telah memenuhi syarat lalu dihambat atau menghalangi merupakan hal yang bertentangan dengan konstitusi.
3. Bahwa Pemohon menilai ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf o UU Pilkada mengandung norma ketidakpastian hukum dengan adanya frasa “belum pernah menjabat” pada ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf o a quo.
Adapun Pasal 7 huruf ayat (2) huruf o UU Pilkada menyatakan:
Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
(o) belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk Calon Wakil Gubernur, Calon Wakil Bupati, dan Calon Wakil Walikota.
Pemohon telah membaca Penjelasan dari Pasal 7 ayat (2) huruf o UU Pilkada yang hanya tertulis “cukup jelas”. Justru frasa “belum pernah menjabat” membuat ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf o UU Pilkada mengandung ketidakpastian hukum, karena tidak membuat batasan yang jelas apa ukuran waktu menjabat dari “masa jabatan Kepala Daerah” a quo.
Patut dipertanyakan apakah bila seseorang Warga Negara Indonesia menjabat antar waktu atau sisa masa jabatan terhitung “satu hari pun” dapat dikategorikan sebagai “pernah menjabat”.
Bukankah sudah pernah ada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 tentang ukuran waktu satu kali masa jabatan kepala daerah. Jika ditafsir secara a contrario, maka masa jabatan sisa waktu kepala daerah di bawah separuh masa jabatan itu tidak bisa dihitung sebagai satu masa jabatan.
Oleh karena itu, jika membuat tafsir a contrario yang diperluas atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009, maka memangku jabatan kepala daerah dalam konteks sisa masa jabatan kurang dari “separuh dari masa jabatan” tidak dapat dihitung sebagai “satu masa jabatan”, atau dengan kata lain “belum pernah menjabat”.
Selain itu, Pemohon berpendapat ketentuan Pasal 7 huruf o memiliki ketidakjelasan tafsir. Menurut Pemohon, norma pasal ini tidak jelas karena dalam hal jabatan apa yang dimaksud batasannya? Apakah belum pernah menjabat sebagai gubernur, bupati, wakil gubernur, wakil bupati, walikota, atau wakil walikota.
4. Bahwa ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf o UU Pilkada yang telah membuat ketidakpastian hukum untuk diri Pemohon dan sekalipun berpotensi menghilangkan “Hak untuk Diplih, atau right to be candidate” telah dihambat oleh ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf o a quo. Ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf o a quo melanggar hak politik Pemohon yang dilindungi dalam UUD 1945 [vide Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (4), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1)] dan Kovenan Internasional.
1. Mengabulkan permohonan Pemohon;
2. Menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf o Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan karena itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
3. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau
Apabila Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).