Gang Dolly ditutup, 50 warga Surabaya mengidap HIV/AIDS
"Para perempuan ini hasil tangkapan dari razia yang rutin digelar oleh Satpol PP Kota Surabaya," kata Kadinkes Febria.
Sedikitnya 50 warga yang terjaring razia yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Surabaya teridentifikasi mengidap HIV/AIDS pascapenutupan lokalisasi Dolly pada 18 Juni lalu. Kadinkes Surabaya Febria Rachmanitia, mengatakan pihaknya mencatat pascapenutupan lokalisasi Dolly pada 18 Juni hingga saat ini, jumlah perempuan yang mengidap HIV/AIDS mencapai 50 orang.
"Para perempuan ini hasil tangkapan dari razia yang rutin digelar oleh Satpol PP Kota Surabaya," kata Febria Rachmanitia seperti dikutip dari Antara, Rabu (10/9).
Menurut dia, Satpol PP selalu melibatkan tim dari Dinkes setiap melakukan razia. Ketika Satpol PP berhasil menjaring perempuan yang diduga sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK), tim dari Dinkes akan melakukan pemeriksaan dan tes HIV.
"Ketika sudah diketahui si perempuan mengidap HIV, maka pihaknya akan langsung memberikan obat antiretroviral," katanya.
Berdasarkan penelitian, pasien HIV yang mendapat pengobatan ARV, kecil kemungkinan menularkan HIV dibanding dengan yang tidak mengonsumsi obat tersebut.
"Setelah kami beri ARV, selanjutnya para pengidap HIV ini akan kami kembalikan ke daerah asal mereka. Nantinya mereka akan ditangani oleh Dinkes setempat," katanya.
Diketahui, setelah lokalisasi Dolly ditutup, Satpol PP gencar menggelar razia di sejumlah tempat hiburan, di antaranya tempat karaoke dan juga hotel-hotel kelas melati. Diduga tempat-tempat tersebut menjadi tempat PSK eks-Dolly untuk menjajakan diri.
Selain di hotel kelas melati dan tempat karaoke, Satpol PP juga merazia sejumlah panti pijat yang diduga memberi layanan plus-plus. Panti pijat ini tersebar di sejumlah lokasi seperti di Kedungdoro, Darmo Park Jalan Mayjend Sungkono dan juga di Kalibokor.
"Selain untuk menjaring PSK eks Dolly yang masih beroperasi, razia untuk juga untuk mendata warga yang tidak punya identitas," kata Kepala Satpol PP Kota Surabaya, Irvan Widyanto.
Sementara itu, Direktur Program Our Right To Be Independent (Orbit), LSM yang menangani penyebaran virus HIV/AIDS, Rudy Wedhasmara mengatakan, kebijakan Pemkot Surabaya menutup lokalisasi diyakini tidak akan mampu menekan penyebaran virus HIV/AIDS.
Justru penutupan lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara itu mengakibatkan virus mematikan itu menyebar ke mana-mana. Penyebaran tersebut lantaran para PSK tidak lagi berpraktik di lokalisasi, melainkan di panti pijat, rumah karaoke, diskotek, spa dan sejumlah tempat-tempat hiburan lainnya.
"Dengan tidak adanya lokalisasi, maka tidak akan ada lagi pemeriksaan rutin yang dilakukan Dinas Kesehatan Surabaya," katanya.
Dia menjelaskan, ada dua kategori PSK, pertama PSK langsung di mana PSK jenis ini berpraktik di lokalisasi. Kedua PSK tidak langsung yang berpraktik di panti pijat, diskotek dan tempat-tempat hiburan.
Saat ini sudah mulai ada kecenderungan perpindahan PSK dari lokalisasi ke panti-panti pijat. Ini ditunjukkan dengan makin menjamurnya panti pijat diseluruh penjuru Surabaya.