Gugat UU Pemilu, DPR Aceh gelontorkan dana Rp 600 juta
Dana sebesar itu untuk membayar 3 pengacara senior di Aceh, yaitu Muhklis Muhktar, Zaini Djalil dan Baharuddin. Masing-masing mereka mendapatkan jatah dana sebesar Rp 200 juta per orang.
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) telah menggelontorkan anggaran sebanyak Rp 600 juta untuk menggugat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), khususnya pasal 557.
Dana sebesar itu untuk membayar 3 pengacara senior di Aceh, yaitu Muhklis Muhktar, Zaini Djalil dan Baharuddin. Masing-masing mereka mendapatkan jatah dana sebesar Rp 200 juta per orang.
Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), DPRA, Murdani mengatakan, anggaran Rp 200 juta per orang tersebut untuk kebutuhan seluruhnya. Baik itu, kebutuhan transportasi, akomodasi, penginapan dan sejumlah kebutuhan persidangan lainnya.
"Itu all in, Rp 200 juta per orang itu semuanya. Itu kalkulasinya sangat murah, karena semua pengacara kita orang Aceh," ujar Murdani di Banda Aceh, Selasa (3/10).
Pihaknya sudah pernah mencoba mencari pengacara yang ada di Jakarta. Akan tetapi, Murdani menyebutkan, harganya sangat mahal hingga mencapai Rp 1 miliar lebih. Sehingga pihaknya memilih pengacara lokal, mengingat keterbatasan anggaran.
Sementara itu, bila anggota dewan yang berangkat ke Jakarta untuk mengikuti sidang di Mahkamah Konstitusi (MK), akan menggunakan SPPD (Surat Perintah Perjalanan Dinas). “Kami tidak menggunakan anggaran Rp 600 juta itu, kami pakai SPPD dewan seperti biasa,” tukasnya.
Gugatan UU Nomor 7 Tahun 2017, pasal 557 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Aturan ini dinilai dapat menggerus kekhususan Aceh dalam hal pemilihan kepala daerah dan calon legislatif Aceh.
Kekhususan itu misalnya kepala daerah dan anggota legislatif di Aceh wajib bisa membaca Alquran. Tidak cuma itu, Aceh juga memiliki aturan 125 persen calon anggota legislatif di tiap dapil, berbeda dengan daerah lainnya. Aturan ini tercantum dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA).
Bila pasal 557 diberlakukan, aturan ini dinilai dapat menggerus kekhususan Aceh dalam hal pemilihan kepala daerah dan calon legislatif Aceh. KIP Aceh misalnya, sekarang dijabat oleh 7 komisioner tidak lagi berlaku, demikian juga penamaannya harus mengikuti secara nasional.