Hate Speech dan kemiskinan cikal bakal teroris di Indonesia
Pemberantasan terorisme kerap kurang disentuh dalam revisi UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme.
Pemberantasan terorisme kerap kurang disentuh oleh pemerintah karena banyak para penyebar hate speech tidak tersentuh oleh hukum. Deputi Penindakan dan Pembinaan Kemampuan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Arief Dharmawan menilai bahwa penindakan hukum terhadap provokator dan penyebar hate speech terhadap para calon anggota harus diatur dalam revisi UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme.
"UU belum mencakup penindakan terhadap penyebar hate speech. Dulu kalau saya memprovokasi kekerasan, langsung dicomot. Sekarang enggak bisa seperti itu," ujar Arief di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (8/4)malam.
Arief menjelaskan banyak pelaku teror yang terprovokasi oleh tokoh-tokoh radikal. "Kebanyakan pelaku teror mendengarkan ceramah dari provokator dan penyebar hate speech dan terinspirasi untuk melakukan aksi-aksi terorisme. Kalau yang ngomong seorang imam atau tokoh agama, pasti ada yang terpengaruh. Sehabis dengar ceramah, keluar dari ruangan, bikin rencana, ledakan bom di KFC, kedutaan dan lain-lain. Para pelaku ditangkap, tapi penyebar hate speechnya tidak dihukum," bebernya.
Tidak hanya itu, menurut Komisioner Komnas HAM Hafid Abbas kemiskinan dan kesenjangan sosial adalah satu faktor utama yang menyebabkan banyaknya terorisme. "Para pelaku terorisme kerap berasal dari daerah atau negara yang miskin. Terorisme itu persis seperti petasan, ada sumbu kalau dibakar meledak. Di dasarnya ada ketidakadilan, diskriminasi, kemiskinan dan kesenjangan sosial. Ke depan, negara harus menjaga agar kesenjangan sosial tidak terus melebar," tandasnya.