IDI Ungkap Pemicu Masyarakat Berobat ke Luar Negeri
Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI), Adib Khumaidi, penerapan pajak pada elemen pembiayaan kesehatan merupakan hal yang perlu dilakukan penyesuaian.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI), Adib Khumaidi mengemukakan persoalan pajak hingga peta perawatan pasien BPJS Kesehatan menjadi faktor pertimbangan masyarakat Indonesia lebih memilih berobat ke luar negeri.
"Gap yang terjadi antara Indonesia dengan luar negeri, kenapa pembiayaannya lebih murah? karena masalah utamanya adalah pajak yang perlu jadi perhatian," katanya saat menghadiri Peringatan 3 Tahun Pandemi Covid-19 di Jakarta, Kamis (9/3).
-
Kapan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) resmi terbentuk? Tepat pada 24 Oktober 1950, IDI secara resmi mendapatkan legalitas hukum di depan notaris.
-
Dimana konsentrasi dokter spesialis di Indonesia? Dia mengatakan 59 persen dokter spesialis terkonsentrasi di Pulau Jawa. "Rata-rata semuanya dokter spesialis pada di Jawa dan di kota. 59 persen dokter spesialis itu terkonsentrasi di Pulau Jawa, 59 persen," ujarnya.
-
Kondisi Dokter Lo saat ini seperti apa? "Keadaannya memang masih kurang baik," terangnya. Namun hari berikutnya Jumat, (22/12) Sumartono mendapat kabar dari drg. Haryani, Supervisor Marketing RS Kasih Ibu Solo, bahwa Dokter Lo di rawat di RSKI.
-
Kapan Hari Dokter Nasional diperingati? 24 Oktober secara resmi diperingati sebagai Hari Dokter Nasional.
-
Siapa yang dihormati di Hari Dokter Nasional? Kita tahu, dokter menjadi salah satu profesi yang memiliki jasa besar bagi manusia. Maka dari itu, sudah seharusnya kita menghargai jasa-jasa para dokter.
-
Apa tujuan utama dibentuknya Ikatan Dokter Indonesia (IDI)? Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat profesi dokter.
Menurutnya, penerapan pajak pada elemen pembiayaan kesehatan merupakan hal yang perlu dilakukan penyesuaian.
"Dari sisi nominal pembiayaan antara Indonesia dan Malaysia, di Malaysia lebih murah," ujarnya.
Selain persoalan pajak, Adib juga menyoroti kebijakan clinical pathway atau jalur perawatan melalui analisa dan pemeriksaan fisik. Seluruh hasil pemeriksaan terhadap pasien, kata Adib, kemudian disesuaikan dengan prosedur Pedoman Praktik Klinis (PPK) untuk mengukur efisiensi biaya.
"Kalau tidak melakukan clinical pathway dan penyesuaian PPK, nanti ada ketidakefisiensian pembiayaan, kita lihat juga dari sisi BPJS Kesehatan," terangnya dilansir dari Antara.
Menurutnya, situasi itu berbeda dengan pelayanan di luar negeri. "Kalau di luar negeri, biasanya sistem paket, pemeriksaan dilakukan menyeluruh dan dalam satu periode waktu ketemu dokter, sampai hasil pemeriksaan dan dilakukan tindakan," katanya.
Adib juga mengkritisi masyarakat Indonesia yang sebenarnya mampu berobat ke luar negeri, tapi berbalik mengandalkan BPJS Kesehatan saat kehabisan dana.
"Ada beberapa pasien saya ke luar negeri, dia dioperasi, terus di Indonesia habis uangnya, tidak ada biaya, tapi pakai BPJS Kesehatan bisa," jelasnya.
Dia menjamin dokter di Indonesia memiliki kemampuan yang jauh lebih baik dan fokus untuk melayani rakyat Indonesia, karena sebagian besar pelayanan mereka adalah BPJS Kesehatan.
"Yang perlu diperhatikan, secara SDM dokter Indonesia mampu. Bahkan banyak sekali kasus kalau mau kita buka, semuanya dengan BPJS Kesehatan, pasien dengan jantung, dengan operasi bypass, pasien ortopedi, semua tercover BPJS Kesehatan tanpa biaya," tutupnya.
(mdk/fik)