Imparsial Terbitkan Buku 'Penculikan Bukan Untuk Diputihkan', Ada Cerita Istri Mendiang Munir
Dalam konteks HAM, yang menjadi pijakan dijelaskannya yakni yang pertama memori kolektif korban dan kedua adanya kesamaan kronologis peristiwa.
Buku yang diluncurkan tersebut merupakan isi hati dan berisi pesan kemanusiaan
Imparsial Terbitkan Buku 'Penculikan Bukan Untuk Diputihkan', Ada Cerita Istri Mendiang Munir
- Irjen Dedi Raih Rekor MURI Perwira Tinggi Polri Penulis Buku Terbanyak
- Cerita Cak Imin Susah Tidur Sebelum Pencoblosan, Pikirkan Kontrol Tabulasi & Penyelamatan Suara
- Kronologi Istri di Karawang Dalang Pembunuhan Suami, Bikin Skenario Pembegalan hingga Isu Asmara Orang Ketiga
- Imparsial Terbitkan Buku 'Penculikan Bukan Untuk Diputihkan', Ceritakan Jejak Kasus Aktivis Orba Hilang Tergerus Zaman
The Indonesian Human Right Monitor (Imparsial) meluncurkan buku berjudul 'Penculikan Bukan Untuk Diputihkan'. Penerbitan buku ini bertepatan dengan gerakan melawan lupa 17 tahun aksi Kamisan, terhadap 13 korban aktivis 97-98 yang hilang diculik.
Diketahui, buku tersebut digagas untuk kembali mengingatkan kepada masyarakat terkait kasus aktivis era Orde Baru, yang hingga saat ini keberadaannya masih dipertanyakan dengan mengambil perspektif langsung dari pihak korban.
Para korban itu diantaranya, Petrus Hariyanto korban penculikan, Suciwati istri almarhum Munir, dan Paian Siahaan yang merupakan ayah dari Ucok Munandar.
Suciwati mengaku, jika mereka juga sudah membuat buku yang kesemuanya adalah tulisan dari para korban pelanggaran berat HAM.
"Demokrasi adalah ruang yang harus direbut dari rezim neo-Orde Baru ini. Di medsos juga banyak beredar video almarhum Munir yang dipotong, yang ditafsirkan seolah-olah Munir mengatakan bahwa Prabowo tidak bersalah," kata Suciwati, Kamis (18/1).
Menurutnya, pernyataan tersebut dinilai memutar balikkan fakta. Karena, Munir dikatakannya jika Prabowo harus dibawa kepada proses pengadilan jika ingin mengatakan dirinya tidak bersalah.
"Jika dia ingin membela dirinya dan menyatakan tidak bersalah, pengadilan adalah satu-satunya cara, tidak ada cara lain yang lebih tepat dan bermartabat," ujarnya.
"Masa depan anak saya akan suram jika presidennya nanti adalah bekas penculik. Sudah 17 tahun sampai hari ini kita berdiri didepan Istana negara. Presidennya dan capresnya waktu itu selalu ngomong kita akan selesaikan. Tetapi kenyataannya, ali-alih membentuk pengadilan HAM, kita justru dipertontonkan dengan tindakan mereka yang sibuk bagi-bagi kekuasaan," sambungnya.
Hal itu ternyata dianggapnya menunjukkan jika mereka tidak mempunyai moral. Oleh karenanya, dirinya berjanji akan terus menyuarakan keadilan bagi para korban.
"Saya tidak bisa dibungkam. Pasangan capres yang pernah menculik tidak boleh jadi presiden di negri ini, tidak boleh memimpin bangsa ini," tegasnya.
Sementara itu, Ketua PBHI Nasional Julius Ibrani mengibaratkan, kegelisahan yang dirasakan oleh korban dengan orangtua yang anaknya tidak pulang sekolah lebih dari 30 menit akan menimbulkan kegelisahan.
"Kita sebagai orang tua yang anaknya telat pulang sekolah lebih dari 30 menit, dan tidak tahu keberadaanya, itu saja sudah merasakan gelisah yang luar biasa. Coba bayangkan situasi yang dialami oleh Pak Paian, bukan 30 menit, tetapi 25 tahun pak Paian tidak tahu bagaimana nasib dan kondisi anaknya," ungkap Julius.
"Di atas hukum, di atas politik, ada namanya kemanusiaan," tambahnya.
Menurutnya, buku yang diluncurkan tersebut merupakan isi hati dan berisi pesan kemanusiaan yang harus dibaca dan disebarluaskan ke seluruh ayah di Indonesia.
"Agar mereka tahu apa yang dirasakan oleh Pak Paian. Secara hukum, penculikan adalah tindak pidana yang diancam 12 tahun penjara, mereka yang juga menghalang-halangi proses penyelidikan kasus penculikan ini, atau suatu tindak pidana, juga bisa dipenjara atas obstruction of Justice," ungkapnya.
"Sepanjang tahun 2004 hingga 2006, Komnas HAM telah memanggil sejumlah nama, tetapi panggilan Komnas HAM tersebut tidak pernah dipenuhi, salah satunya oleh capres Prabowo Subianto," sambungnya.
Ia menyebut, jika Prabowo pernah dipanggil secara resmi oleh Komnas HAM. Akan tetapi, ia disebutnya tidak pernah menghadiri panggilan Komnas HAM tersebut.
"Panggilan Komnas HAM tersebut merupakan bagian dari proses hukum oleh Komnas HAM, atau judicial proses. Tidak boleh ada yang mengatakan kasus penculikan itu hoaks. Siapa yang mengatakan itu hoaks, itu sedang melakukan pembohongan publik," sebutnya.
Dalam konteks HAM, yang menjadi pijakan dijelaskannya yakni yang pertama memori kolektif korban dan kedua adanya kesamaan kronologis peristiwa.
Kemudian yang ketiga, adanya tindakan yang sama yang dialami oleh korban, dengan gambaran pelaku yang sama, keterangan yang sama. Lalu yang keempat, korban adalah kelompok kritis yang menentang rezim.
"Mendengar keterangan dari korban adalah satu bentuk persidangan rakyat dan ini adalah fakta. Keterangan korban ini konsisten dari awal hingga saat ini. Ketika korban mengatakan selesai maka baru selesai, tetapi ketika korban mengatakan ini belum selesai maka negara wajib menyelesaikannya," paparnya.
"Jadi, tidak bisa keterangan Budiman Sujatmiko yang duduk di kursi kekuasaan mengatakan bahwa kasus ini telah selesai, karena keterangan Budiman telah terdistraksi oleh kekuasaan itu sendiri," pungkasnya.
Sebelumnya, Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran memaparkan adanya dugaan narasi yang terindikasi menggagalkan Pemilu 2024.
Wakil Komandan Echo (Hukum dan Advokasi) TKN, Habiburokhman mengatakan, indikasi yang pertama adalah terbitnya koran Achtung berisi fitnah terhadap Prabowo soal pelanggaran HAM.
"Padahal, kalau kita bicara soal penculikan, tuduhan kepada pak Prabowo ada setidaknya empat fakta hukum yang jelas-jelas menguatkan pak Prabowo tidak ada kaitan sama sekali dengan penculikan aktivis 98," sambung Habiburokhman.
Indikasi kedua, lanjut Habiburokhman, pihaknya mencurigai adanya gerakan yang menghasut mahasiswa turun ke jalan untuk melalukan demonstrasi menentang politik dinasti.
“Adanya hasutan kepada mahasiswa untuk turun ke jalan ya untuk melakukan demonstrasi menentang politik dinasti dan membangun narasi soal pelanggaran HAM menangkap para pelanggar HAM," ucapnya.
Kecurigaan ketiga adalah narasi yang seolah-olah mencoba membenturkan antara prajurit TNI dan anggota Polri dengan masyarakat sipil. Menurutnya, ada beberapa insiden kasus yang sudah terjadi dan 'digoreng' ke publik.
"Kita lihat ya Kasad sudah tegas menindak semua oknum anggota TNI yang melakukan pelanggaran tetapi ada pihak-pihak yang terus menggoreng isu ini ya kan seolah-olah TNI secara sistematis berpihak pada satu pihak dan mengintimidasi pihak yang lain ya," tegasnya.