Ini penjelasan lengkap tarif bawah 40% & nasib tiket murah
Menteri Jonan meneken surat keputusan tak boleh lagi tiket pesawat diobral semurah harga kereta ekonomi.
Walau menuai polemik, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan tetap menaikkan tarif batas bawah tiket penerbangan. Jika dulu 30 persen, maka tarif batas bawah kini menjadi 40 persen dari batas atas.
Jonan sudah menekan Peraturan Menteri Perhubungan No 91 Tahun 2014 sudah diteken. Maskapai penerbangan tidak boleh menetapkan tarif batas bawah kurang dari 40 persen.
Direktur Angkutan Udara Kemenhub Mohammad Alwi mengilustrasikan, Jika tarif batas atas penerbangan rute Jakarta-Surabaya sebesar Rp 1,6 juta. Maka tarif terendah untuk penerbangan dengan rute sama sebesar Rp 600 ribu.
Tiket termurah yang bisa didapatkan adalah 40 persen dari tarif batas atas yang Rp 1,6 juta itu.
Dulu tiket Jakarta-Surabaya bisa didapat dengan harga di bawah Rp 300.000. Bahkan jika sedang promo, AirAsia bisa menjual tiket Jakarta-Surabaya dengan harga Rp 99 ribu.Kini jangan harap dapat tiket di bawah Rp 500 ribu.
"(Sejak diberlakukan) dari 1 Januari sampai sekarang itu nggak ada yang jual tiket di bawah Rp 500 ribu," tegas Alwi.
Dulu tiket ke Kuala Lumpur, Bangkok atau Siam Reap bisa dibeli dengan Rp 149.000. Kini setelah aturan batas bawah ditetapkan 40 persen, harga tiket ke luar negeri yang lebih murah dari Kereta Api ekonomi tinggal kenangan.
Menteri Jonan sendiri tak habis pikir harga tiket kereta api hampir sama dengan harga tiket pesawat. Jonan mengatakan harga tiket kereta api saja yang eksekutif justru untungnya hampir tidak ada, apalagi pesawat.
"Saya kasih contoh, tiket kereta api yang kelas eksekutif kan gak dikasih makan, cuma tempat duduknya sama dengan kelas ekonomi pesawat. Jakarta-Surabaya itu (waktu tempuh) 9,5 jam harganya Rp 350-450 ribu. Sekarang Anda cek, kalau ada pesawat Jakarta-Denpasar harganya Rp 300-400 ribu apa itu masuk akal? Wong kereta api itu untungnya hampir gak ada," ujar Jonan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (8/1).
Jonan sangat yakin maskapai penerbangan yang menjual tiket murah, mengalami kerugian. "Coba tanya AirAsia dan Garuda, rugi gak operasinya selama ini? Kalau rugi terus, bahaya. Kalau tutup mendingan kan. Kalau jalan terus, kan pasti banyak yang dikorbankan," ujar Jonan.
Dengan mengalami rugi itu, kata Jonan, tidak mungkin maskapai-maskapai itu akan menombok terus keuangannya. Hal seperti inilah yang menurut Jonan tidak sehat dalam industri penerbangan. Jonan curiga adanya 'kompensasi' lain agar maskapai tidak mengalami kerugian, yakni bisa saja dengan pengurangan di dalam maintenancenya.
"Apa ada orang yang mau nombokin terus? Menurut saya gak sehat industrinya. Bandingkan dengan kereta api deh. Cek aja karcisnya harganya berapa. Cek juga tiket pesawat berapa aja. Kalau jauh lebih murah dari kereta api, saya heran. coba tanya ahli-ahli manajemen penerbangan itu, sebenarnya Jakarta-Surabaya pakai Boeing 737 biaya per penumpang berapa," ujarnya.
Jonan ingin maskapai menerapkan harga standar sehingga keselamatan tak dikorbankan. Namun, sejumlah kalangan mempertanyakan alasan ini. Mereka yakin tiket murah bukan berarti keselamatan diabaikan.
Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif era SBY, Sapta Nirwandar, mengkritik langkah Jonan. Menurutnya kunci low cost carrier (LCC) ada pada fasilitas, bukan soal mengorbankan keselamatan.
"Tiket murah itu lebih pada efisiensi," katanya. "Misal LCC memberikan pilihan untuk fasilitas seperti bagasi yang minim jika ingin lebih ada tambahan biaya, tanpa makanan, tidak ada pilihan tempat duduk. Ini berbeda dengan pesawat servis yang semuanya sudah termasuk di dalam harga tiket."
Dengan kata lain, Sapta meyakini, LCC diyakini tak akan memangkas biaya operasi terkait keselamatan penerbangan demi menjual tiket murah. "Keselamatan adalah hal lain, ada standarnya tersendiri yang harus dipatuhi," katanya.