Kejahatan korporasi di Indonesia masih tak tersentuh
"Hal ini tentu saja tidak lepas dari keragu-raguan, kerena menghadapi "crime by powerful" yang kompleks," kata Muladi.
Ada lebih dari 60 Undang-Undang di luar KUHP yang seharusnya bisa digunakan untuk menjerat tindak pidana korporasi. Kelemahannya, undang-undang itu tidak saling mendukung, sehingga penegakan hukum di pengadilan masih mengecewakan di Indonesia.
Hal itu dikemukakan Muladi dalam peluncuran bukunya berjudul: "Pertangungjawaban Pidana Korporasi", di Gedung Lemhanas, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Rabu (30/10). Menurut dia, penyebab masalah itu tidak lepas dari keragu-raguan penegak hukum. Apalagi profesionalisme penegak hukum juga masih diragukan.
"Hal ini tentu saja tidak lepas dari keragu-raguan, kerena menghadapi "crime by powerful" yang kompleks dalam pembuktiannya atau karena profesionalisme penegak hukum yang kurang memadai," kata Muladi, yang juga Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia di masa Soeharto dan BJ Habibie itu.
Muladi menjelaskan, penyebab lain karena perundang-undangan yang ada juga kurang memadai. Dalam pengamatan Muladi, undang-undang saat ini tidak memberikan pedoman jelas, sehingga pertanggungjawaban pidananya hanya mengarah pada para pengurusnya secara individual atau kolektif.
"Padahal berbeda dengan individual criminal responsibility, kejahatan korporasi tingkat dan bahayanya jauh lebih besar," ujar Muladi.
Lebih lanjut dia melanjutkan, pelaku kejahatan korporasi dilakukan oleh kumpulan terorganisasi baik dalam bentuk badan hukum atau tidak. Terlebih, kejahatan korporasi kecenderungannya berkongsi dengan penguasa atau pejabat negara.
"Kejahatan korporasi sering merupakan konspirasi pejabat dan pengusaha atau perpaduan dengan pelaku kejahatan kerah putih," ujarnya.