Kekerasan terhadap jurnalis di Papua meningkat
"Jumlah kasus ini menunjukkan bahwa selain kebebasan dan kemerdekaan pers di Papua masih menjadi persoalan serius."
Kasus kekerasan terhadap jurnalis di Papua masih terus terjadi, bahkan meningkat secara kualitas maupun kuantitas dari tahun ke tahun. Tercatat hingga bulan Juni 2013 saja, terdapat 13 kasus kekerasan terhadap wartawan yang bertugas di Bumi Cendrawasih.
Kasus kekerasan itu seperti tindak kekerasan saat meliput, soal kesejahteraan wartawan (ketenagakerjaan), pemasungan kebebasan pers, dan juga minimnya kode etik profesi wartawan diterapkan.
"Jumlah kasus ini menunjukkan bahwa selain kebebasan dan kemerdekaan pers di Papua masih menjadi persoalan serius yang harus menjadi perhatian bersama," kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Papua Victor Mambor, lewat siaran pers, Sabtu (13/7).
Dari 13 kasus itu, AJI Papua mencatat sembilan di antaranya berkaitan dengan kebebasan dan kemerdekaan pers. Salah satu kasus yang baru terjadi yakni pemeriksaan terhadap isi majalah Pelita Papua yang dilakukan kepolisian dengan alasan isi media yang berisi "penghasutan".
"Hal ini, tentunya bertentangan dengan semangat kebebasan dan kemerdekaan pers yang diamanatkan oleh UU Pokok Pers Nomor 40 Tahun 1999," ujar AJI Papua.
Untuk masalah kesejahteraan wartawan (ketenagakerjaan), AJI Papua mencatat beberapa perusahaan pers di sana masih belum memiliki visi dan misi yang jelas terkait dengan kesejahteraan karyawannya. Hal ini dapat meragukan profesional jurnalisme, yang seharusnya bisa menjamin kehidupan pers yang demokratis dan bertanggungjawab.
Terakhir, soal etika kewartawanan. AJI Papua melaporkan adanya pemukulan terhadap seorang pekerja (pengemudi eskavator) oleh seorang wartawan. Ini mencerminkan bahwa kesadaran terhadap kode etik kewartawanan masih belum menjadi sebuah kesadaran bersama dalam komunitas wartawan.
"Sebagai sebuah komunitas profesi, sudah semestinya komunitas wartawan mematuhi kode etiknya demi kredibilitas profesinya," Aji Papua.