Keluarga faktor utama cegah anak dari virus radikalisme
Anak-anak harus dilindungi dari berbagai pengaruh negatif, terutama propaganda radikalisme dan terorisme. Untuk itu, peran keluarga, lingkungan dan pemerintah harus lebih diintesifkan. Keluarga dalam urusan pola asuh, sementara pemerintah wajib melindungi anak dari sistem pendidikan dan perundangan.
Anak-anak harus dilindungi dari berbagai pengaruh negatif, terutama propaganda radikalisme dan terorisme. Untuk itu, peran keluarga, lingkungan dan pemerintah harus lebih digencarkan. Keluarga dalam urusan pola asuh, sementara pemerintah wajib melindungi anak dari sistem pendidikan dan perundangan.
"Tapi itu bermula dari pola asuh yang menjadi sumber agar anak tidak berpikir radikal, juga kognitif atau kemampuan anak menyerap ilmu pengetahuan," ujar psikolog Tika Bisono di Jakarta, Jumat (24/3).
Intinya, keluarga adalah faktor utama untuk mencegah dan melindungi anak dari 'virus' radikalisme, serta paham negatif lainnya. Menurutnya, langkah paling baik adalah pola asuh demokratis, di mana anak diberi kebebasan untuk mengemukakan ide dan pendapatnya.
"Kalau dihitung berapa juta atau berapa miliar rumah yang menerapkan pola ini. Inginnya sih di atas 50 persen. Tapi ternyata enggak kan. Pola asuh ini adalah pola yang paling mendasar," imbuh Tika.
Terkait radikalisasi anak-anak melalui dunia maya, Tika berpendapat bahwa orangtua harus terjun ke filosofi gadget. Artinya orangtua tidak boleh gaptek (gagap teknologi), tapi orangtua juga harus paham fitur-figur, gadget, internet, serta konten-kontennya.
Tika menilai gadget, internet, dan media sosial yang tengah populer seiring perkembangan teknologi komunikasi yang makin canggih, bisa menjadi celah bagi pengaruh luar masuk ke pikiran penggunanya. Dalam hal ini keluarga juga harus mengikuti perkembangan zaman.
"Kalau yang memagari faktor intelektualitasnya enggak sampai, lebih baik enggak usah bergadget ria. Untuk hal ini saya harus menyalahkan keluarga," tuturnya.
Disamping itu, lanjut Tika, kebijakan negara dan pemerintah juga sangat besar. Apalagi beberapa waktu lalu ada beberapa anak Indonesia yang ikut dideportasi bersama orangtuanya dari Turki. Mereka dideportasi karena akan menyeberang ke Suriah untuk bergabung dengan kelompok radikal ISIS.
Untuk yang satu ini, Tika menilai harus ada penanganan khusus buat anak-anak yang deportasi itu. Dalam pandangannya, ia yakin kepergian mereka ke Suriah bukan kemauan mereka, tapi kemauan orangtuanya.
"Harus ada pendampingan psychosocial untuk mengembalikan cara pandang agar mereka bisa kembali berpikir rasional," tandasnya.
Beberapa waktu lalu, 75 WNI dideportasi dari Turki karena akan bergabung dengan ISIS. Sebagian dari mereka adalah anak-anak. Mereka kini berada dalam penanganan Kementerian Sosial dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk dilakukan deradikalisasi.