Kemenkes Larang Pegawai Bahas RUU Kesehatan di Luar Forum Resmi, IDI: Langgar HAM
IDI mengingatkan Kemenkes soal kebebasan berpendapat yang sudah tertuang dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengkritisi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang meminta aparatur sipil negara (ASN) di kementeriannya tidak membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan di luar forum resmi.
Wakil Ketua Umum PB IDI, Slamet Budiarto menilai, Kemenkes berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM).
-
Kapan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) resmi terbentuk? Tepat pada 24 Oktober 1950, IDI secara resmi mendapatkan legalitas hukum di depan notaris.
-
Apa tujuan utama dibentuknya Ikatan Dokter Indonesia (IDI)? Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat profesi dokter.
-
Dimana konsentrasi dokter spesialis di Indonesia? Dia mengatakan 59 persen dokter spesialis terkonsentrasi di Pulau Jawa. "Rata-rata semuanya dokter spesialis pada di Jawa dan di kota. 59 persen dokter spesialis itu terkonsentrasi di Pulau Jawa, 59 persen," ujarnya.
-
Kenapa Jokowi meminta Kemenkes segera mengisi kekurangan dokter spesialis? "Tadi Pak Menkes sudah menyampaikan bahwa dokter umum masih kurang 124.000, dokter spesialis masih kurang 29.000. Jumlah yang tidak sedikit. Ini yang harus segera diisi," kata Jokowi dalam Peresmian Peluncuran Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit Pendidikan Penyelenggara Utama di Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta, Senin (6/5).
-
Apa profesi Putra Dokter Boyke, Dhitya Dian Nugraha? Mengikuti jejak sang ayah, Dhitya merupakan alumnus Universitas Indonesia. Namun, perjalanan akademisnya tidak berhenti di sana. Ia melanjutkan pendidikannya di luar negeri, tepatnya di Universiteit Leiden, Belanda, dari tahun 2017 hingga 2020 dengan mengambil jurusan psikologi.
-
Kapan dokter Soebandi gugur? Mengutip situs Begandring, dokter tentara sekaligus wakil komandan Divisi Damarwulan ini gugur ditembak tentara Belanda dalam sebuah penyergapan di Desa Karang Kedawung, Jember pada 8 Februari 1949.
"Melanggar HAM," kata Slamet kepada merdeka.com, Senin (17/4).
Dia mengingatkan Kemenkes soal kebebasan berpendapat yang sudah tertuang dalam Pasal 28 huruf f Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pasal 28 f berbunyi 'Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia'.
"Sebaiknya Kemenkes tidak melanggar ketentuan UUD 1945, yang mengatur kebebasan berpendapat," ujarnya.
Terlalu Berlebihan
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra menilai, Kemenkes terlalu berlebihan karena meminta pegawainya tidak membahas RUU Kesehatan di luar forum resmi.
"Tentu saja ini memang dilihat sebagai bentuk kritikan untuk Kemenkes. Rasanya tidak perlu juga kalau memang mau elegan untuk dilihat sebagai lembaga pemerintah yang akuntabel dan akomodatif harusnya tidak sampai ada surat edaran," kata Hermawan.
Menurut dia, Kemenkes seharusnya cukup memberikan imbauan kepada pegawainya agar mendukung RUU Kesehatan yang sedang dibahas pemerintah dan DPR.
"Lebih kepada disiplin yang berupa imbauan saja. Kalau seperti ini tandanya menjadi sesuatu agenda yang luar biasa, yang betul-betul diperjuangkan Kemenkes dalam RUU ini. Padahal RUU itu bukan hanya pemerintah tapi demi masyarakat warga bangsa," ucap Hermawan.
Hermawan menduga, Kemenkes menginginkan seluruh jajarannya mendukung RUU Kesehatan. Tidak boleh ada pegawai yang berbeda sikap.
Saat ini, kata Hermawan, Kemenkes setidaknya memiliki lebih dari 10 rumah sakit. Tenaga kesehatan yang bertugas pada rumah sakit tersebut berpotensi berbeda sikap dengan Kemenkes terhadap RUU Kesehatan.
"Maka itu, untuk menyeragamkan kelihatannya memang dibuat surat edaran," kata Hermawan.
Larang Pegawai Bahas RUU Kesehatan di Luar Forum Resmi
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melarang aparatur sipil negara (ASN) di kementeriannya membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan di luar forum resmi. Larangan ini tertuang dalam surat edaran Nomor: HK 01.01/D/4902/2023.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi membenarkan adanya surat edaran tersebut.
“Benar,” kata Nadia saat dikonfirmasi merdeka.com, Minggu (16/4).
Surat edaran ini diteken 11 April 2023 oleh Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, Azhar Jaya. Surat ditujukan kepada para pimpinan satuan kerja di Kantor Pusat Ditjen Pelayanan Kesehatan dan para pimpinan Unit Pelaksana Teknis Ditjen Pelayanan Kesehatan. Surat ini ditembuskan ke Menteri Kesehatan Budi Gunadi.
Isi Surat
Ada lima poin isi surat edaran ini.
1. Bahwa pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat saat ini sedang menyusun RUU Kesehatan sehingga diharapkan kepada seluruh ASN Kementerian Kesehatan pada kantor pusat dan unit pelaksana teknis serta pegawai BLU pada unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan untuk mendukung dan berpartisipasi dalam proses sosialisasi positif RUU Kesehatan.
2. Seluruh ASN Kementerian Kesehatan tidak diperkenankan membahas RUU di luar forum resmi atau ikut menandatangani/memberi saran melalui institusi/organisasi di luar Kementerian Kesehatan karena rawan disalahgunakan oleh organisasi/institusi lain tersebut sehingga seolah-olah berseberangan sikap dengan pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan.
3. Pimpinan satuan kerja/unit pelaksana teknis serta ASN dan pegawai BLU di lingkungan Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan wajib mematuhi hal-hal sebagaimana tersebut di atas.
4. Pimpinan satuan kerja/unit pelaksana teknis wajib mengawasi seluruh ASN/pegawai BLU di lingkungan kerjanya dan mendukung sikap Kementerian Kesehatan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Kementerian Kesehatan.
5. Ketidakpatuhan terhadap hal-hal sebagaimana tersebut di atas akan dilakukan pembinaan secara administrasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
(mdk/tin)