Kemenkes Tegaskan Vaksin Nusantara Bersifat Individual, Tak Bisa Dikomersilkan
Nadia juga menegaskan bahwa vaksin Nusantara tidak dapat dikomersialkan lantaran autologus atau bersifat individual.
Sejumlah orang, termasuk pejabat mengaku sudah mendapatkan vaksin Covid-19 Nusantara. Bahkan, dikabarkan Turki siap memesan vaksin Nusantara sebanyak 5,2 juta dosis.
Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi menegaskan vaksin Nusantara dapat diakses oleh masyarakat dalam bentuk pelayanan berbasis penelitian secara terbatas.
-
Kapan virus corona ditemukan? Virus virus adalah sekelompok virus yang meliputi SARS-CoV (virus korona sindrom pernafasan akut parah), MERS-CoV (sindrom pernapasan Timur Tengah coronavirus) dan SARS-CoV-2, yang menyebabkan Covid-19.
-
Apa yang menjadi tanda awal mula pandemi Covid-19 di Indonesia? Pada tanggal 2 Maret 2020, Indonesia melaporkan kasus pertama virus Covid-19, menandai awal dari pandemi yang memengaruhi seluruh masyarakat.
-
Apa itu Vaksin Herpes Zoster? Vaksin Herpes ZosterSangat penting bagi masyarakat untuk melakukan pencegahan dengan mendapatkan vaksin Herpes Zoster. Hal ini agar kondisi seperti yang dijelaskan sebelumnya bisa dicegah. Vaksin Herpes Zoster sendiri perlu didapatkan oleh kelompok usia 50 tahun ke atas.
-
Kenapa bentuk kapsid virus berbeda-beda? Bentuk kapsid sangat bergantung pada jenis virusnya. Kapsid virus bisa berbentuk bulat, polihedral, heliks, atau bentuk lain yang lebih kompleks. Kapsid tersusun atas banyak kapsomer atau sub-unit protein.
-
Bagaimana virus Covid-19 pertama kali masuk ke Indonesia? Kasus ini terungkap setelah NT melakukan kontak dekat dengan warga negara Jepang yang juga positif Covid-19 saat diperiksa di Malaysia pada malam Valentine, 14 Februari 2020.
-
Apa itu vaksin HPV? Vaksin HPV merupakan vaksin untuk mencegah infeksi human papillomavirus (HPV). HPV adalah virus yang dapat menyebabkan kutil kelamin dan berbagai jenis kanker di organ kelamin dan reproduksi, seperti kanker serviks, kanker penis, kanker anus, dan kanker tenggorokan.
Penelitian tersebut berdasarkan nota kesepahaman atau MoU antara Kementerian Kesehatan bersama dengan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), dan TNI Angkatan Darat pada April. MoU itu terkait dengan 'Penelitian Berbasis Pelayanan Menggunakan Sel Dendritik untuk Meningkatkan Imunitas Terhadap Virus SARS-CoV-2'.
''Masyarakat yang menginginkan vaksin Nusantara atas keinginan pribadi nantinya akan diberikan penjelasan terkait manfaat hingga efek sampingnya oleh pihak peneliti. Kemudian, jika pasien tersebut setuju, maka vaksin Nusantara baru dapat diberikan atas persetujuan pasien tersebut,'' ujar Nadia melalui keterangan tertulis yang dikutip merdeka.com, Senin (30/8).
Nadia juga menegaskan bahwa vaksin Nusantara tidak dapat dikomersialkan lantaran autologus atau bersifat individual.
''Sel dendritik bersifat autologus artinya dari materi yang digunakan dari diri kita sendiri dan untuk diri kita sendiri, sehingga tidak bisa digunakan untuk orang lain. Jadi, produknya hanya bisa dipergunakan untuk diri pasien sendiri,'' tutup Nadia.
BPOM Belum Beri Izin Uji Klinis
Namun, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) belum memberikan izin uji klinis lanjutan vaksin Nusantara. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Penny K. Lukito, mengungkapkan alasan BPOM belum izinkan uji klinis lanjutan untuk vaksin Nusantara. Pertama, 20 dari 28 subjek penelitian vaksin Nusantara mengalami kejadian tidak diinginkan.
"Sebanyak 20 dari 28 subjek (71,4 persen) mengalami kejadian yang tidak diinginkan, meskipun dalam grade 1 dan 2," katanya melalui keterangan tertulis, Rabu (14/4).
Penny mengatakan, subjek uji klinik fase satu vaksin Nusantara yang mendapatkan kadar adjuvant 500 mcg mengalami kejadian tidak diinginkan lebih banyak. Sementara subjek dengan kadar adjuvant 250 mcg dan tanpa adjuvant lebih sedikit mengalami kejadian tidak diinginkan.
Kejadian tidak diinginkan yang dimaksud yakni nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi dan nyeri kepala. Kemudian penebalan, kemerahan, gatal, ptechiae, lemas, mual, demam, batuk, pilek dan gatal.
"Terdapat kejadian yang tidak diinginkan grade 3 pada 6 subjek dengan rincian yaitu 1 subjek mengalami hipernatremi, 2 subjek mengalami peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN) dan 3 subjek mengalami peningkatan kolesterol," jelasnya.
Dia menambahkan, masih data studi klinik fase satu vaksin Covid-19 Nusantara, terdapat 3 dari 28 subjek atau sekitar 10,71 persen mengalami peningkatan titer antibodi lebih dari 4 kali setelah 4 minggu penyuntikan. Namun, 8 dari 28 subjek atau setara 28,57 persen mengalami penurunan titer antibodi setelah 4 minggu penyuntikan.
"3 Subjek yang mengalami peningkatan titer antibodi lebih dari 4 kali tersebut yaitu 2 subjek terdapat pada kelompok vaksin dengan kadar antigen 0.33 mcg dan adjuvant 500 mcg serta 1 subjek terdapat pada kelompok vaksin dengan kadar antigen 1.0 mcg dan adjuvant 500 mcg. Hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan kadar titer antibodi dipengaruhi oleh peningkatan konsentrasi adjuvant, bukan karena peningkatan kadar antigen," terangnya.
Kedua, persetujuan lolos kaji etik tidak dilakukan oleh Komite Etik (KE) tempat penelitian vaksin Nusantara.
"Tidak ada notifikasi dan penyerahan protokol kepada KE di RSUP Dr. Kariadi terkait penelitian ini, sehingga tidak ada kajian dari KE setempat," katanya.
Penny menjelaskan, kaji etik merupakan hal yang kritikal karena tugas utama KE adalah mengawasi hak dan keamanan subjek penelitian. Tak hanya itu, Penny menyebut pihaknya menemukan data keamanan uji klinis fase satu vaksin Nusantara dihilangkan peneliti.
"Terdapat data-data keamanan yang diganti oleh peneliti dengan menghilangkan data yang lama, sehingga tidak dapat ditelusuri keaslian data dan tidak dapat diketahui penyebab perubahan data tersebut," terangnya.
Penny melanjutkan, terdapat inkonsistensi pencatatan data pada dokumen sumber, worksheet dan case report form terhadap Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) yang dialami oleh subjek penelitian vaksin Nusantara. Ini menyebabkan tidak dapat diketahui data yang benar.
BPOM juga menemukan subjek yang seharusnya tidak dapat direkrut karena tak masuk dalam kriteria inklusi (sudah memiliki antibodi) tetapi diikutkan dalam penelitian vaksin Nusantara. Hal ini tidak sesuai dengan protokol penelitian dan menyebabkan hasil tidak valid.
Doktor dari Universitas Wisconsin Madison ini juga menjelaskan Case Report Form (CRF) penelitian vaksin Nusantara menggunakan sistem elektronik dengan nama Redcap Cloud yang dikembangkan oleh Aivita Biomedical Inc dengan server di Amerika. Dia menyebut, keberadaan Aivita Biomedical Inc tidak disinggung dalam perjanjian kerja sama dengan Badan Litbangkes, Kemenkes.
"Beberapa tahapan proses pembuatan dan pengujian vaksin sel dendritik dilakukan oleh Aivita Biomedical Inc (dilaksanakan oleh tenaga dari warga negara asing). Terkait hal tersebut, belum ada kontrak antara Aivita Biomedical dengan RSUP Dr. Kariadi," kata Penny.
Perjanjian kerja sama antara Badan Litbangkes dengan PT Rama Emeralds tidak menyebutkan apa yang menjadi kewajiban dari Aivita Biomedical Inc dalam uji klinik vaksin dendritik yang dilakukan di Indonesia dan lingkupnya hanya untuk uji klinik fase II dan fase III. Dengan perjanjian seperti ini membuat pihak Aivita Biomedical merasa tidak punya kewajiban untuk bekerja sesuai standar dan peraturan di Indonesia.
Ketiga. Penny mengatakan pembuatan produk vaksin yang menggunakan campuran sel dendritik itu tidak steril.
"Produk vaksin dendritik atau yang dikenal sebagai vaksin Nusantara tidak dibuat dalam kondisi yang steril," katanya.
Penny menjelaskan, laporan yang diterimanya pembuatan vaksin Nusantara menggunakan close system. Tetapi pada kenyataannya proses pembuatan vaksin Nusantara dilakukan secara manual dan open system.
Selain itu, produk antigen SARS CoV-2 yang digunakan sebagai bahan utama pembuatan vaksin Nusantara bukan Pharmaceutical grade dan dinyatakan oleh produsen (Lake Pharma-USA) tidak dijamin sterilitasnya. Bahkan, antigen tersebut hanya digunakan untuk riset di laboratorium bukan untuk diberikan kepada manusia.
"Hasil produk pengolahan sel dendritik yang menjadi vaksin tidak dilakukan pengujian sterilitas dengan benar sebelum diberikan kepada manusia. Hal tersebut berpotensi memasukkan produk yang tidak steril dan menyebabkan risiko infeksi bakteri pada penerima vaksin," jelasnya.
Penny melanjutkan, produk akhir dari vaksin Nusantara tidak dilakukan pengujian kualitas sel dendritik. Peneliti hanya menghitung jumlah selnya saja. Sementara itu, penghitungan sel juga tidak konsisten karena ada 9 dari 28 sediaan yang tidak diukur. Kemudian, dari 19 yang diukur terdapat 3 sediaan yang di luar standar tetapi tetap dimasukkan.
Keempat. Penny menyebut metode pengujian vaksin Nusantara tidak dilakukan validasi dan standardisasi sebelum pelaksanaan penelitian.
Peneliti vaksin Nusantara juga hanya menyerahkan hasil dengan 2 macam pengujian menggunakan alat yang berbeda dan hasil yang berbeda.
"Hal tersebut tidak diperbolehkan karena akan timbul subjektivitas peneliti dengan memilih hasil yang dianggap lebih baik memberikan nilai. Terkait perbedaan hasil tersebut, saat diklarifikasi kepada tim peneliti, setiap orang memberikan pendapat yang berbeda-beda, di mana peneliti dari Aivita menyatakan hasil pengujiannya yang benar, dan peneliti dari Litbangkes menyatakan hasil pengujiannya yang benar," jelasnya.
"Berdasarkan hal tersebut, BPOM menyatakan bahwa hasil tidak dapat diterima validitasnya," sambung Penny.
Baca juga:
Antre dari Pagi, Warga di Jayapura Tidak Kunjung Divaksinasi Covid-19
Apakah Vaksinasi Covid-19 Jadi Langkah Terbaik Memutus Pandemi? Ini Penjelasannya
300 Warga Suku Laut di Indragiri Hilir Disuntik Vaksin Covid-19
Tak Perlu Takut Vaksin Covid-19, Ini 3 Alasannya, Sudah Aman
Vaksin Covid-19 Penting! Begini 3 Cara Kerjanya dalam Melindungi Tubuh
Erick Thohir Apresiasi BRI Bantu Vaksinasi 3.000 Santri
Jangan Ragu, Hasil Penelitian Vaksin Sinovac dan Sinopharm Efektif Lawan Varian Delta