Ketua Granad tuding Pemda Yogyakarta diskriminatif pada etnis China
Tudingan tersebut didasarkan atas fakta bahwa banyak warga etnis China yang tidak boleh memiliki tanah di Yogyakarta.
Ketua Gerakan Anak Negeri Anti Diskriminasi (Granad), Willie Sebastian menuding pemerintah Yogyakarta telah berlaku diskriminatif terhadap warga etnis China di Yogyakarta.
Tudingan tersebut didasarkan atas fakta bahwa banyak warga etnis China yang tidak boleh memiliki tanah di Yogyakarta.
Menurut Willie selama ini warga Indonesia yang beretnis China di Yogyakarta hanya boleh memiliki Hak Guna Bangunan. Jika ada yang mencoba mengurus sertifikat tanah, maka BPN langsung memberikan surat jika tidak boleh memiliki hak tanah.
"Tanahnya kemudian diambil alih oleh negara. Kalau itu namanya perampasan," katanya pada merdeka.com, Selasa (15/9) malam.
Tidak selesai di situ, setelah tanah dirampas, mereka kemudian diminta membayar sewa jika ingin mendirikan bangunan di atasnya.
"Tanah milik kita, diambil alih negara, terus kita mau pakai tanah itu harus menyewa lagi, coba bayangkan," ungkapnya.
Willie pun sempat menanyakan alasan dan dasar perlakuan diskriminatif itu. Namun selama ini dari pihak BPN atau pun Pemerintah tidak memberikan jawaban.
"Mereka itu tidak bisa menjawab. Apa bedanya WNI pribumi dan non pribumi? Apa ada istilah pribumi dan non pribumi? Indonesia itu negara hukum, dan semua orang diperlakukan sama di mata hukum, memiliki hak dan kewajiban yang sama. Kenapa terus ada perbedaan?" terangnya.
Selama ini, lanjutnya, pemerintah berlindung dibalik Instruksi Wakil Gubernur nomor 89 tahun 1975 yang menyatakan warga non pribumi tidak boleh memiliki tanah. Namun dia menilai, instruksi tersebut sudah tidak berlaku sejak diberlakukannya UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) di Yogyakarta sejak tahun 1984.
"Banyak yang dilanggar, bukan UUPA saja. Dan ini terus berlanjut. Penipuan, pengaburan bahwa UUPA sudah diberlakukan," tandasnya.