KH Mas Mansur, lebih suka ndeso daripada pakai pakaian mewah
Begitu sederhananya, orang tak mengenal Mas Mansur sebagai sosok penting.
Kedudukannya di masyarakat sangat tinggi. Dia sahabat dekat Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta. Dia adalah pemimpin organisasi Islam besar Muhammadiyah. Meskipun memiliki kedudukan tinggi, KH Mas Mansur tetap lekat dengan kesederhanaan yang mengagumkan.
Gaya berpakaian Mas Mansur memang berbeda dengan pemimpin lain. Jika pemimpin lainnya mengenakan jas mewah, Mas Mansur lebih suka pakaian sederhana dan sarung. Sabuknya juga memiliki kantong. Suatu ketika, wartawan Jepang Kanzo Tsutsumi bertanya kepada Mas Mansur mengapa suka berpakaian gaya ndeso, meskipun kedudukannya sudah tinggi.
Mas Mansur tertawa dan menjawab: "Memang pakaian saya ini selalu menjadi soal hingga kawan-kawan saya akan memberi uang 180 rupiah dan disuruhnya saya membuat jas dan celana yang bagus-bagus. Mungkin kiranya saya mau berpakaian jas dan celana jika terus menerus saya didesak-desak. Cuma saja saya yakin, kalau saya beli celana modern, niscaya saya tak sanggup menjelaskan hitungan 5 dan 5 karena tentu otak dan pikiran saya tidak tenang lagi. Biarpun saya disebut kepala batu atau berbau desa, sudahlah biarkan."
Begitu sederhananya, orang tak mengenal Mas Mansur sebagai sosok penting. Pernah ada kejadian menarik soal ini seperti diceritakan Soebagijo IN dalam bukunya Mas Mansur, Pembaharu Islam di Indonesia. Suatu kali dalam Kongres Muhammadiyah di Medan, ada orang gemuk hitam berdiri di luar arena kongres. Seorang anggota komite menghampiri orang tersebut dan menanyakan identitasnya. Jika belum punya, diminta mengurus ke kepanitiaan. Anggota komite menunjuk suatu tempat untuk mengurusnya. Orang itu diam saja dan menurut pernyataan dari anggota komite tanpa membantah.
Dia menuju tempat yang ditunjuk dengan tenang. Belakangan diketahui, orang yang ditegur itu adalah Mas Mansur. Anggota komite itu mukanya biru hitam lantaran malu. Bagaimana tak malu, Mas Mansur adalah salah satu pimpinan Muhammadiyah yang sangat diperhitungkan.
Jejak perjuangan Mas Mansur makin menggelora setelah menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Gebrakan politik yang cukup berhasil bagi ummat Islam dengan memprakarsai berdirinya Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI) bersama Hasyim Asyari dan Wahab Hasbullah, keduanya dari Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga ikut mendirikan Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr Sukiman Wiryasanjaya sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Mas Mansur termasuk dalam empat pimpinan yang menonjol sehingga disebut Empat Serangkai bersama Bung Karno, Bung Hatta, dan Ki Hajar Dewantara.
Mas Mansur mundur dari empat serangkai karena hati nuraninya tidak bisa menerima penindasan Jepang. Terutama juga karena banyak saudaranya yang menjadi korban penindasan Jepang. Saat Indonesia diproklamasikan, KH Mas Mansur tidak bisa hadir di Pegangsaan Timur karena sakit.
Namun demikian api perjuangan tidak pernah dia padamkan. Dalam kondisi fisik yang tidak lagi tangguh, dia terus menyemangati arek-arek Suroboyo pada pertempuran melawan Sekutu. Di Surabaya, Mas Mansur rajin menjadi khotib dan Imam dalam salat Jumat dengan tak henti-hentinya memberi semangat kepada para pejuang.
Tak menghiraukan ancaman lawan dan desingan peluru, Mas Mansur rajin mendatangi kelompok muda mudi yang bertugas di Palang Merah untuk memberi semangat perjuangan.
Dengan tuduhan sebagai kolaborator karena pernah duduk di pimpinan Poetera, Mas Mansur ditangkap Sekutu dan ditahan di penjara Kalisosok dalam kondisi sakit. Mansur sempat dilepas tetapi kembali ditangkap Sekutu karena perjuangannya yang sangat gigih. Kondisi sakit membuat Mas Mansur kemudian dirawat di sebuah rumah sakit di Darmo.
Mas Mansur meninggal dalam sepi tanpa ada orang lain yang menemani. Saat-saat terakhirnya 24 April 1946 tidak ada anak, istri, atau saudara yang mendampinginya. Indonesia kehilangan salah satu pemimpin besarnya yang penuh teladan.
Atas meninggalnya KH Mas Mansur, Panglima Besar Sudirman mengirimkan surat tanda duka cita mendalam. "Saya merasa kehilangan seorang ayah, seorang pembimbing dan seorang pemimpin. Saya merasa berhutang budi. Hutang budi yang saya bayar dengan suatu janji serta tekad: kami keluarga tentara semua akan meneruskan perjuangan kita melaksanakan tuntutan pemerintah dan rakyatnya, yaitu: Kemerdekaan penuh," demikian surat dari Panglima Besar Sudirman.
Jenazah KH Mas Mansur dimakamkan di kuburan Gipo dekat Masjid Ampel. Dengan SK Presiden No 162 Tahun 1964, KH Mas Mansur ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Namanya juga diabadikan sebagai salah satu jalan penting di Jakarta dan banyak kota lain.