Kisah pejuang pendidikan di wilayah perbatasan
Ade rela menabung dan merogoh jutaan rupiah untuk memberikan pelita ilmu bagi anak-anak perbatasan.
Berbekal ilmu dan kepedulian, Ade Rahayu, mahasiswa teknik Universitas Indonesia (UI) menunjukkan semangat kepahlawanannya dengan mengajar di perbatasan. Februari 2012, menjadi pembuktiannya sebagai pahlawan muda yang turun dari menara gading untuk mencerdaskan anak-anak di SDN 06 Sungai Tembaga, titik Dusun Sungai Tembaga, Desa Tinting Seligi, Kecamatan Badau, Kalimantan Barat.
"Berangkat dari keprihatinan mengenai kondisi pendidikan di Indonesia, kami ingin melakukan suatu tindakan nyata sebagai bentuk tanggungjawab moral dan intelektual sebagai seorang mahasiswa. Hal sederhana yang terpikirkan pada waktu itu saya ingin menjadi guru, di daerah perbatasan. Kami menamakan kegiatan ini sebagai 'Gerakan Mahasiswa UI Peduli Perbatasan," ujar Ade bersemangat pada merdeka.com, Jakarta, Minggu (10/11).
Bersama rekannya, Fitrianti dan Nike, Ade menemukan hal yang memilukan hati. Pendidikan belum merata di Indonesia. Ade mendapati SD yang diajarnya hanya didukung oleh tiga guru, padahal muridnya membludak. Tak hanya itu ketidakoptimalan tenaga pengajar dan kelas ini membuat anak kelas 3 SD rata-rata masih belum bisa membaca.
"Di SDN 06 Sungai Tembaga yang pada jumlah siswa sekitar 45 orang dengan jumlah guru sebanyak 3 orang. Siswa tersebut ada yang kelas 1-5 SD, sedangkan kelas 6 belum ada siswanya. Sekolah tersebut hanya ada 4 buah kelas di mana kelas 2 ,3 dan kelas 5 hanya dipisahkan dengan sekat kayu. Siswa kelas 1-3 SD yang belum pandai membaca dan berhitung sehingga kami menyempatkan untuk belajar tambahan bersama," ungkapnya.
Namun jangan salah, letupan semangat justru datang dari anak-anak buruh perkebunan sawit. Meski dalam kondisi yang amat terbatas, nyatanya semangat anak-anak ini melampaui batas.
"Saya bisa melihat semangat besar mereka untuk belajar dan bermimpi tentang cita-cita mereka kelak. Anak-anak di sana hebatnya berani berpendapat bahkan kerap kali berebut untuk menjawab soal ataupun maju ke depan kelas," ceritanya senang.
Bukan hal mudah bagi Ade dan kawan-kawan menjalani misi mulia ini, ketika banyak orang membelanjakan uangnya untuk liburan, Ade justru rela menabung dan merogoh jutaan rupiah untuk memberikan pelita ilmu bagi anak-anak perbatasan. Ditambah perjuangan baik sebelum maupun saat berada di sana, sangat menempa fisik dan mentalnya.
"Akses transportasi yang sulit, kondisi jalan yang rusak, gempuran produk dari negeri Malaysia, dualisme kewarganegaraan, harga-harga barang kebutuhan yang mahal, pelayanan kesehatan yang kurang memadai, hingga akses pendidikan yang sangat terbatas menjadi potret kehidupan saudara kita di sana," lanjut mahasiswa angkatan 2008 ini.
Perjalanan mulia ini tidak sampai di sini, sadar tugasnya sebagai agent of change, Ade dan kawan-kawan berkomitmen akan terus menyebarkan ilmu mereka ke banyak daerah perbatasan lainnya.
"Semoga langkah kecil kami bermanfaat bagi mereka. Dan semoga gerakan ini bisa menjadi besar. Satu hati untuk perbatasan negeri," tutupnya diplomatis.