Alasan Kenapa Manusia Mudah Tertipu, Bahkan Orang Pintar Juga Mudah Jadi Sasaran Penipuan
Memiliki pendidikan lebih baik dan kepintaran tidak membuat seseorang dijamin kebal dari penipuan. Kenali mengapa mereka tetap rentan menjadi korban tipuan ini:
Penipuan adalah masalah global yang terus berkembang seiring dengan kemajuan teknologi. Di era digital ini, siapa pun dapat menjadi korban penipuan, termasuk mereka yang cerdas dan berpendidikan tinggi. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa manusia, bahkan yang paling pintar sekalipun, bisa begitu mudah tertipu?
Dilansir dari Verywell Mind, Penelitian menunjukkan bahwa penipuan tidak selalu terjadi karena kebodohan atau kelalaian, melainkan karena manipulasi psikologis yang sangat canggih. Dalam artikel berjudul "There’s a Reason Even The Smartest People Fall for Scams", Kendra Cherry menyoroti bagaimana penipuan bekerja berdasarkan eksploitasi emosi, kepercayaan, dan bias kognitif yang melekat pada manusia. Berikut adalah beberapa alasan mengapa manusia, termasuk orang pintar, rentan menjadi korban penipuan.
-
Kenapa penipuan terjadi? 'Kelalaian adalah pemilik data Ataupun korban biasanya itu lengah dengan hal seperti ini. Contohnya seperti ini, maka kelalaian itu juga menyebabkan terjadinya suatu kejahatan cyber karena kelalaian kita sendiri kita tidak wearnes,' ujarnya.
-
Siapa pelaku penipuan? Kelima tersangka tersebut telah dilakukan penahanan sejak tanggal 26 April 2024 dan terhadap satu WN Nigeria sudah diserahkan kepada pihak imigrasi untuk diproses lebih lanjut,' tuturnya.
-
Siapa yang mudah dibohongi? Setiap orang tentu tidak akan suka saat dibohongi atau bahkan dimanfaatkan dalam hubungan apapun, baik itu pasangan maupun pertemanan. Tetapi, pasti akan selalu ada saja orang yang mudah dibohongi karena terlalu baik hati.
-
Siapa yang jadi korban penipuan? Defri mengalami insiden ini ketika menerima tawaran investasi pada pertengahan 2023.
-
Siapa yang menjadi korban penipuan? 'Saya bukanlah orang yang ada dalam berita ini. Saya tidak melakukan transplantasi wajah,' katanya kepada saluran tersebut, seraya menambahkan ia telah menjalani operasi yang berbeda empat tahun lalu.
-
Kenapa kita harus hati-hati dengan penipuan? Jadi intinya, kita harus hati-hati sama yang namanya penipuan. Kalau ada yang nawarin sesuatu yang terlalu bagus buat jadi kenyataan, ya kemungkinan besar itu memang nggak nyata.
Manipulasi Psikologis yang Rumit
Penipuan tidak hanya bergantung pada kecerdasan, melainkan juga pada kelemahan psikologis yang sering kali dimiliki oleh setiap individu. “Penipu sering kali menyamar sebagai otoritas atau entitas yang bisa dipercaya untuk membangun kredibilitas. Mereka mungkin meniru gaya bahasa dan komunikasi, atau bahkan menyamar sebagai teman dan keluarga untuk menumbuhkan rasa keakraban dan kepercayaan," jelas Dr. Robert Cuyler, PhD. Ketika seorang penipu berhasil mendapatkan kepercayaan, korban cenderung mengikuti instruksi tanpa memikirkan konsekuensinya.
Penipuan sering kali memanfaatkan taktik yang sudah sangat teruji, seperti berpura-pura menjadi institusi resmi atau figur otoritas. Sebagai contoh, panggilan telepon atau email yang seolah-olah berasal dari bank atau institusi pemerintah sering kali berhasil menipu orang untuk menyerahkan informasi pribadi mereka.
Eksploitasi Emosi dan Rasa Takut
Salah satu cara paling efektif untuk menipu seseorang adalah dengan memanfaatkan emosi, terutama rasa takut. “Ketakutan adalah salah satu faktor utama yang membuat orang lebih rentan terhadap penipuan,” ungkap Dr. Mary Poffenroth, PhD, seorang biopsikolog. Dalam keadaan cemas atau terancam, manusia cenderung bereaksi cepat tanpa mempertimbangkan dengan matang. Para penipu memanfaatkan mekanisme alami ini dengan menciptakan situasi mendesak yang memicu ketakutan, seperti ancaman tindakan hukum atau kehilangan finansial.
Sebagai contoh, email penipuan yang mengancam akan membekukan rekening bank atau menuntut tindakan cepat agar korban tidak kehilangan kesempatan besar sering kali berhasil menipu korban untuk bertindak cepat tanpa berpikir panjang. Ketika emosi negatif, seperti ketakutan dan kecemasan, menguasai pikiran, kemampuan berpikir logis seseorang menjadi terganggu.
Bias Kognitif yang Menghantui
Selain emosi, bias kognitif juga memainkan peran penting dalam mengapa seseorang bisa tertipu. Salah satu bias yang sering dimanfaatkan oleh penipu adalah confirmation bias, yaitu kecenderungan untuk mencari dan mempercayai informasi yang mendukung keyakinan kita. Dalam penipuan, hal ini dieksploitasi dengan cara menyajikan informasi yang seolah-olah mendukung harapan atau kekhawatiran korban.
Penipu juga sering kali memanfaatkan authority bias, di mana seseorang lebih cenderung mematuhi figur otoritas. Penipu sering berpura-pura sebagai otoritas yang dipercaya, seperti pemerintah atau perusahaan besar, untuk meningkatkan peluang mereka mendapatkan apa yang diinginkan.
Selain itu, penggunaan heuristik—yaitu aturan praktis yang kita gunakan untuk mengambil keputusan cepat—juga membuat kita rentan terhadap penipuan. Dalam dunia digital, banyak orang sering kali percaya pada ulasan online sebagai dasar untuk mengambil keputusan. Penipu memanfaatkan ini dengan membuat ulasan palsu yang tampak asli, sehingga korban merasa aman untuk melakukan transaksi, meskipun ada tanda-tanda bahaya.
Faktor Sosial dan Pengaruh Lingkungan
Penipuan tidak hanya memanfaatkan kelemahan individu, tetapi juga kekuatan pengaruh sosial. Dalam situasi tertentu, tekanan sosial dapat membuat seseorang merasa perlu mengikuti jejak orang lain. Dalam hal ini, penipu sering kali menciptakan ilusi bahwa banyak orang lain telah melakukan tindakan tertentu, seperti berinvestasi atau membeli produk, untuk mendorong korban agar ikut serta.
Reciprocity bias atau bias timbal balik adalah taktik psikologis lain yang sering digunakan. Ketika penipu memberikan sesuatu kepada korban, seperti informasi atau bantuan kecil, korban cenderung merasa terikat untuk memberikan sesuatu kembali. Dr. Mary Poffenroth menjelaskan, “Korban merasa lebih sulit secara psikologis untuk menolak permintaan selanjutnya karena ‘bantuan’ pertama berfungsi sebagai taktik untuk membuka kesempatan.”
Siapa yang Rentan Tertipu?
Penelitian menunjukkan bahwa kerentanan terhadap penipuan tidak terbatas pada kelompok usia tertentu. Meskipun orang tua sering dianggap lebih rentan karena kurangnya literasi teknologi, fakta menunjukkan bahwa orang muda, terutama mereka yang berusia 18 hingga 24 tahun, justru paling banyak mengalami kerugian finansial akibat penipuan. Hal ini menunjukkan bahwa keakraban dengan teknologi tidak selalu memberikan perlindungan yang cukup dari taktik penipuan yang semakin canggih.
Faktor lain yang membuat seseorang lebih rentan terhadap penipuan adalah kesulitan finansial, isolasi sosial, dan tingkat stres yang tinggi. Penipu cenderung mengeksploitasi kebutuhan mendesak seseorang akan uang atau hubungan sosial, seperti dalam kasus penipuan asmara di situs kencan online.
Bagaimana Melindungi Diri?
Penting untuk disadari bahwa siapa pun dapat menjadi korban penipuan. Pendidikan dan kesadaran adalah langkah pertama yang dapat diambil untuk melindungi diri dari penipuan. Mengembangkan kebiasaan keamanan digital yang kuat, seperti memeriksa URL situs web sebelum mengklik, menggunakan kata sandi yang kuat, dan mengaktifkan otentikasi dua faktor, dapat membantu meminimalkan risiko.
Selain itu, penting untuk tetap skeptis terhadap tawaran yang terlalu bagus untuk menjadi kenyataan dan tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan, terutama dalam situasi yang melibatkan uang atau informasi pribadi.
“Mindfulness dapat menjadi strategi efektif untuk membantu Anda lebih menikmati masa kini dan menjadi lebih sadar akan ide dan emosi Anda,” tambah Dr. Poffenroth.