Kisah pelarian tiga Gerwani dari penjara Bukit Duri
Tiga tahanan yang hanya mengenakan pakaian dalam itu tertangkap dan langsung dipukuli.
Truk dan motor lalu lalang di Komplek Ruko Bukit Duri Plaza, Jakarta Selatan. Jejeran ruko yang tampak kuno berdiri berderet. Beberapa kuli membongkar barang-barang untuk dimasukkan ke gudang. Sama sekali tak ada bekas-bekas sebuah penjara besar pernah berdiri di sana.
Sejak tahun 1984, Penjara Wanita Bukit Duri sudah dibongkar. Penjara ini dulu pernah sesak dengan tahanan politik tahun 1968 hingga 1979. Para anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dan tokoh-tokoh PKI pernah dipenjara di sini.
Lokasi di dekat Kampung Melayu dulu merupakan benteng pertahanan kolonial Belanda tahun 1600an. Pagar berduri dibangun di sepanjang tepi sungai Ciliwung. Letak benteng itu memang agak tinggi sehingga menyerupai sebuah bukit kecil jika dilihat dari seberang sungai. Inilah asal nama Bukit Duri.
Kini, bangunan penjara sudah berganti dengan Ruko Bukit Duri Plaza. Sementara bengkel senjata di sampingnya menjadi Komplek Bukit Duri Permai. Wartawan merdeka.com, Ramadhian Fadillah dan Islahudin mendatangi lokasi ini pekan lalu.
"Dulu di sini seram. Rumah saya dekat sekali dengan penjara itu. Sering ada teriakan-teriakan. Kata orang tua saya itu penjaga lagi menyiksa tahanan," cerita Indra (57), seorang warga yang kini menjadi sekuriti di Komplek Ruko Bukit Duri Plaza.
Warga lain, Jayadi (55) menceritakan peristiwa yang tidak pernah akan dilupakannya. Sekitar tahun 1975, Jayadi bekerja sebagai tukang becak. Pada suatu hari, menjelang siang. Tiba-tiba orang-orang dikejutkan tiga tahanan wanita yang mencoba melarikan diri dengan menyeberangi Sungai Ciliwung. Teriakan-teriakan penjaga yang mengejar terdengar keras. Rupanya ada tiga orang Gerwani yang melarikan diri.
"Saya ingat mereka cuma pakai pakaian dalam. Lari menyeberang sungai, tapi dikejar dan tertangkap. Saya lihat mereka dipukuli penjaga. Warga hanya diam saja, tak ada yang berani (membela). Kasihan mereka," kata dia.
Sri Sulistyawati (71), adalah seorang wartawati Warta Buana yang sebelas tahun dipenjara di Bukit Duri. Sri menjadi tahanan politik karena dianggap pembela Soekarno. Alasan lain, Sri pernah membantu mendirikan Gerwani cabang Jakarta. Selain itu suami Sri adalah Ketua Pemuda Rakyat Sukatno yang menjadi underbouw PKI. Tanpa pengadilan Sri dijebloskan ke penjara.
"Di sana saya makan dengan pinset karena nasinya dicampur dengan beling dan pasir. Mereka (Pemerintah Soeharto) ingin kita mati pelan-pelan," jelas Sri kepada merdeka.com.
Sri menjelaskan umumnya tahanan tidak disiksa di Penjara Bukit Duri. Tapi dibawa ke tempat lain. Istilahnya dibon, atau dipinjam. Nasib tahanan pun bergantung ke tempat mana dia dibon.
"Banyak yang tidak kembali lagi ke tahanan. Mungkin dieksekusi," kata Sri yang mengalami siksaan di lokasi Gang Buntu, Kebayoran Lama.
Ketika napi wanita lain dikirim ke Plantungan, Sri tetap ditahan di Bukit Duri. Oleh pemerintah Orde Baru dia memang dikategorikan tahanan politik kelas A bersama para tokoh PKI yang lari ke Blitar Selatan. Kelas A adalah kategori tapol yang dianggap paling berbahaya.
Penjara Bukit Duri kini sudah runtuh. Tapi sejarah kelam mereka yang ditahan tanpa pengadilan tak akan pernah dilupakan warga dan mantan tahanan penjara wanita Bukit Duri.