Kisah tato dan penembakan misterius
Pada 1980-an, penembakan misterius banyak dilakukan kepada orang bertato yang diduga preman.
Tato memiliki sejumlah makna di masyarakat. Sebagian kalangan menilai tato sebagai sebuah seni keindahan, sementara sebagian lagi menilai miring orang yang memiliki tato di tubuhnya.
Selain ditemui pada orang umum, tato juga biasa ditemui pada orang-orang yang hidupnya dekat dengan aksi kejahatan, sebut saja preman. Dulu, para residivis yang keluar masuk penjara kerap mentato tubuhnya. Itu yang membuat tato identik dengan premanisme.
Tato digunakan untuk menunjukkan keberanian dan kejantanannya sebagai jagoan. Selain itu, mereka juga menggunakannya sebagai tanda identitas kelompoknya.
Namun, memiliki tato pada era 1980-an merupakan hal yang cukup menakutkan. Saat itu, pemerintah Orde Baru tengah menggalakkan operasi pemberantasan kejahatan di berbagai wilayah di Indonesia. Operasi itu digelar karena masyarakat semakin resah atas ulah para preman yang semakin merajalela.
Penembakan misterius yang biasa dikenal dengan sebutan Petrus, terhadap orang yang diduga preman pun marak terjadi. Kebanyakan korbannya adalah orang yang memiliki tato di tubuhnya. Mereka ditemukan tewas di pinggir jalan, sawah dengan mengenaskan, salah satunya di Jalan Lembang mengarah Tangkuban Perahu.
Saat itu, warga sekitar kerap menemukan karung berisi mayat pria bertato yang tewas dengan cara ditembak atau dijerat di lehernya.
Mayat mereka umumnya ditemukan dengan luka tembak di kepala dan leher. Konon kabarnya, sepanjang 1983 hingga 1984, ribuan orang yang diduga preman tewas ditembak secara misterius di sejumlah wilayah Indonesia.
Penembakan terhadap para preman itu beberapa tahun kemudian menjadi tak lagi misterius. Saat itu Presiden Soeharto menyatakan tindakan keamanan itu terpaksa dilakukan karena aksi kejahatan semakin brutal dan meluas.
Pak Harto bahkan menyebut tindakan tegas dengan cara kekerasan harus dilakukan terhadap para penjahat sebagai sebuah treatment therapy. Benedict Anderson dalam bukunya Violence and the State in Suharto's Indonesia juga membahas serius tentang Petrus.
Meski sempat menimbulkan kecaman, tak sedikit masyarakat yang mendukung langkah pembasmian preman itu. Sebab, akibat operasi itu aksi premanisme relatif turun, salah satu contohnya di Bandung.
Sebelum penembakan terhadap para preman dilakukan, Terminal Kebon Kalapa, Bandung, dipenuhi preman bertato yang sehari-hari memalak sopir dan masyarakat. "Setelah penembakan gencar dilakukan, terminal itu bersih dari para preman," ujar Rusi (60) salah seorang warga Bandung.
Meski menimbulkan pro dan kontra di kalangan publik, operasi itu ternyata cukup membuat gentar nyali para preman. Dalam kesaksiannya, Edi (55), mantan preman Pasar Ciroyom mengaku sangat ketakutan saat penembakan misterius marak terjadi.
Dia bahkan tak berani pulang ke rumahnya selama 1 tahun lamanya. Tak hanya itu, ia bahkan nekat menghapus tatonya dengan jalan menyeterika sejumlah bagian tubuhnya. "Setiap hari saya pakai baju lengan panjang supaya enggak kelihatan tatonya," kata dia.
Walau tergolong sadis, operasi pemberantasan preman itu cukup efektif menurunkan aksi premanisme saat itu. Bahkan, tak sedikit masyarakat yang mendukung langkah itu.