Koalisi LSM gugat UU Koperasi ke MK
"UU Koperasi ini cacat secara episteme. Logika perkoperasian dilanggar sama sekali," ujar Juru Bicara Koalisi, Suroto.
Sejumlah LSM yang tergabung dalam Koalisi Ornop untuk Demokratisasi Ekonomi menggugat Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai UU ini telah melanggar demokratisasi ekonomi seperti tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945.
"UU Koperasi ini cacat secara episteme. Logika perkoperasian dilanggar sama sekali," ujar Juru Bicara Koalisi, Suroto, di Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (15/5).
-
Kapan Masinton Pasaribu mengusulkan hak angket terhadap Mahkamah Konstitusi? Sebelumnya, Masinton Pasaribu berupaya menggalang dukungan anggota Dewan untuk mengusulkan hak angket terhadap Mahkamah Konstitusi.
-
Kenapa Masinton Pasaribu mengusulkan hak angket terhadap Mahkamah Konstitusi? Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu mengusulkan penggunaan hak angket terhadap Mahkamah Konstitusi karena putusannya terkait batas usia capres-cawapres dinilai tidak berlandaskan konstitusi.
-
Kapan Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan Pilpres? Momen kunjungan kerja ini berbarengan saat Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan Pilpres diajukan Kubu Anies dan Ganjar.
-
Apa harapan Anies Baswedan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK)? “Kita hormati, kita belum tahu, dan kita tidak mau berspekulasi, tapi kita berharap bahwa MK mengambil peran untuk menyelamatkan demokrasi kita, membuat mutu demokrasi kita terjaga,” kata Anies di MK.
-
Apa yang diubah Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pilpres 2024? Jumlah ini bertambah dari sebelumnya yang terbatas 17 orang. “Ada kesepakatan baru, sekarang 19 orang. Sebelumnya MK hanya memperbolehkan pemohon membawa 17 orang terdiri dari 15 saksi dan 2 ahli,” kata Fajar kepada awak media di Gedung MK Jakarta, Selasa (26/3/2024).
-
Apa yang menjadi topik utama dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH) Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini? Mahkamah Konstitusi (MK) memulai rapat permusyawaratan hakim (RPH) pada hari ini, Sabtu, usai sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, yang bertujuan untuk menentukan putusan dari seluruh proses PHPU.
Koalisi yang terdiri dari LBH Jakarta, Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Koperasi, Koperasi Karya Insani, Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil, Yayasan Bina Desa Sadawija, Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga, Pusat Pengembangan Sumber Daya Wanita, Bina Swadaya, dan Kapal Perempuan ini menganggap pemberlakuan UU Koperasi telah menghilangkan makna koperasi sebagai lembaga ekonomi yang dikelola secara bersama.
"Koperasi seharusnya memiliki dasar teori yang memberikan pengakuan, perlindungan, dan pembedaan dengan bentuk badan usaha lain. Koperasi bukan korporasi ataupun sejenis dengan perusahaan," kata Suroto.
Beberapa pasal yang menjadi pokok persoalan yang mereka ajukan ke MK terkait dengan definisi koperasi, penyertaan modal, pengawas, dan Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) sebagai wadah tunggal koperasi. Empat permasalahan ini telah menimbulkan kesan koperasi tidak jauh berbeda dengan perusahaan.
Terkait dengan penyertaan modal, Koordinator Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil, Maeda Yoppy mengatakan, modal koperasi berasal dari anggota sendiri dan tidak boleh dari luar. Hal ini untuk menghindari adanya kemungkinan kepemilikan tunggal sebuah koperasi.
"Semangat koperasi adalah persamaan dan kedaulatan anggota koperasi. Modal pun berasal dari pemberdayaan anggota koperasi secara bersama-sama. Sehingga diperbolehkannya penyertaan modal dari luar bisa menghancurkan otoritas anggotanya," ucap Yoppy.
Selain itu, Yoppy menerangkan, pihaknya juga menolak ketentuan koperasi harus berbadan hukum. "Pasalnya, bagi warga pedesaan, ketentuan ini tentu akan sangat menyulitkan," terang dia.
Lebih lanjut, Yoppy menambahkan, dia bersama anggota koalisi yang lain meminta MK untuk menghapus pasal-pasal dalam UU Koperasi ini. "Kami meminta MK menyatakan pasal-pasal ini bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," pungkas dia.
(mdk/ren)