Komunitas Bandung beli mobil buat siswa korban konflik lahan Lampung
Moro-Moro adalah perkampungan 3.000 warga di Kabupaten Mesuji, Lampung, yang oleh pemerintah setempat dianggap ilegal.
Prihatin dengan konflik sengketa tanah di Moro-Moro, Lampung, yang mengancam penutupan sekolah dasar dan SMP, sejumlah aktivis komunitas Bandung melakukan kampanye Jangan Tutup Sekolah Kami dan Save Moro-Moro.
Moro-Moro adalah perkampungan berisi sekitar 3.000 warga di Kabupaten Mesuji, Lampung, yang oleh pemerintah setempat dianggap ilegal. Hal ini berdampak pada putra-putri yang bersekolah di Moro-Moro.
Kondisi tersebut yang melatarbelakangi kampanye Jangan Tutup Sekolah Kami dan Save Moro-Moro yang digagas Rumah Bintang di Bandung. Rumah Bintang merupakan lembaga pendidikan anak. Aktivis Rumah Bintang, Evrian Kharisma, menyebutkan pada Mei 2015 lalu pemerintah Mesuji telah menutup satu SD Moro Dewe dan satu SMP.
"Kini tiga sekolah lainnya, semuanya SD, terancam ditutup juga," kata Evrian, kepada Merdeka Bandung di sela acara kampanye, Minggu (8/11) malam.
Ia menyebutkan, jumlah siswa-siswi di Moro-Moro ada sekitar 400 anak. Ia khawatir, tanpa perhatian semua pihak, siswa-siswi tersebut terancam putus sekolah akibat rencana penutupan sekolah-sekolah mereka.
Dalam aksi galang dana tersebut, ada dua isu didorong. Pertama kampanye fasilitas pendidikan untuk anak di Moro-Moro. Menurut dia, meskipun ada konflik tanah di Moro-Moro, anak-anak tetap berhak mendapat fasilitas pendidikan.
Selain itu, penutupan sekolah SD dan SMP membuat siswa-siswi di sana harus dialihkan sekolahnya ke Kabupaten Mesuji yang jaraknya 15-20 kilometer atau setara dengan Bandung-Lembang.
Sementara transportasi umum dari Moro-Moro ke Mesuji tidak ada. Maka siswa-siswi mengandalkan nebeng pada truk atau mobil barang tiap harinya. "Maka acara galang dana ini ditujukan untuk membeli dua mobil pick up second untuk angkutan sekolah mereka," kata Evrian.
Ia menambahkan, mobil pick up tersebut bisa dipakai untuk angkutan sekolah bagi anak-anak Moro-Moro. Sejauh ini, penggalangan dana sudah mencapai Rp 10 juta. Peserta galang dana berasal dari berbagai komunitas di Bandung, pengusaha clothing, distro, cafe, Komunitas Perpus Jalanan Bandung, Komunitas Taman Kota dan lainnya.
Acara penggalangan dana sendiri dilakukan di Rumah The Panas Dalam, Jalan Ambon. Acara dimeriahkan dengan sajian band-band Bandung seperti De Galih, Flukeminimix, pantomime Wanggihoed, band Tetangga Pak Gesang, dan Perkusi Rubin. Di sela acara juga dilakukan penjualan kaos, gitar bass, cincin gaul, tas, buku yang hasilnya untuk disumbangkan ke Moro-Moro.
Untuk diketahui, di Moro-Moro terdapat lima wilayah setingkat dusun yang setiap dusunnya diatur pemimpin setingkat Kepala Dusun, karena tidak ada Kepala Dusun. Moro-Moro berdiri 1996-1997 oleh penduduk miskin yang tidak punya tanah.
Dalam kurun waktu 18 tahun ini masyarakat Moro-Moro membangun tempat ibadah, posyandu, tiga SD dan 1 SMP secara swadaya. Mereka juga menghijaukan lahan 2.400 hektare yang dulunya berupa alang-alang. Namun keberadaan Moro-Moro dianggap illegal oleh pemerintah setempat. Mereka dinilai menempati tanah bukan milik mereka.