Konflik, 2 kubu Keraton Surakarta sama-sama gelar acara naik tahta
Mereka saling klaim sebagai penyelenggara acara yang sah.
Konflik internal yang terjadi di Keraton Kasunanan Surakarta, membuat dua kubu merasa saling benar dan berkuasa. Sehingga dalam peringatan 'Naik Tahta Raja' ke 11 atau ritual Tingalan Jumenengan Dalem yang jatuh hari ini, kedua kubu yang berseteru merayakannya sendiri-sendiri.
Kubu Lembaga Dewan Adat yang dimotori oleh Gusti Raden Ayu (GRAy) Moertiyah atau Gusti Moeng, menggelar acara di Bangsal Ageng Sasana Sewaka. Sedangkan kubu Raja Surakarta Sampeyan Ingkang Sunuwun Kanjeng Susuhunan (SISKS) PB XIII Hangabehi bersama Mahapatih Tedjowulan menggelar ritual di kediamannya, Sasana Narendra, sebelah barat Sasana Sewalka atau hanya berjarak sekitar 200 meter.
"Tingalan Jumenengan Dalem sinuhun memang tertutup, tadi dihadiri ratusan abdi dalem," ujar Penasihat Hukum PB XIII Ferry Firman Nur Wahyu, kepada wartawan usai acara, Kamis (14/5).
Sementara itu acara yang dimotori Dewan Adat di Sasana Sewaka dimulai sekitar pukul 10.00 dihadiri ratusan kerabat dan abdi dalem keraton. Berbeda dengan prosesi sebelum adanya konflik, kali ini tidak terlihat dampar atau singgasana raja.
Menurut kubu Lembaga Dewan Adat, yaitu Wakil Raja Surakarta PB XIII, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Puger, prosesi yang digelar di Keraton Surakarta itu bukan Tingalan Jumenengan PB XIII, melainkan Tingalan Adeging Bedhaya Ketawang atau pentas tari sakral Bedaya Ketawang.
"Ritual Tingalan Jumenengan PB XIII tahun ini ditiadakan karena Raja PB XIII Hangabehi sudah di-nonaktifkan sebagai Raja Surakarta oleh Lembaga Dewan Adat setelah lebih dari dua tahun tidak menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai raja," katanya.
Tari Bedaya Ketawang, lanjut dia tetap ditampilkan karena merupakan prosesi adat yang tetap harus digelar sesuai perintah Sinuhun Paku Buwono XII semasa hidupnya.
Terpisah, humas Kubu PB XIII Kanjeng Pangeran (KP) Bambang Pradotonagoro mempertanyakan prosesi tingalan juimenengan yang digelar kubu Lembaga Dewan Adat. "Acara itu bukan acara resmi keraton karena Raja Surakarta PB XIII tidak pernah memerintahkan gelaran seperti itu," tandasnya.
Bambang menegaskan, daalm sebuah ritual jumenengan seharusnya ada raja yang duduk di singgasana. "Tidak ada jumenengan kok yang jadi raja pelaksana tugas (Plt)," ucapnya.
Bambang menambahkan, upacara yang digelar PB XIII sangat sederhana dan tanpa menampilkan tari sakral Bedaya Ketawang yang merupakan ciri khas tingalan jumenengan. Raja duduk di singgasana didampingi permasuri. Tingalan Jumemenangan itu diwarnai dengan pemberian sertifikat kenaikan pangkat gelar keraton kepada kerabat dan abdi dalem.