Konten Netflix Diminta Diperketat
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengaku kesulitan untuk melakukan penyuntingan terhadap konten film streaming berbayar milik Netflix. KPI mewacanakan penyensoran konten Netflix mengacu pada Undang-Undang Penyiaran. Namun, hingga kini wacana tersebut belum terealisasikan.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengaku kesulitan untuk melakukan penyuntingan terhadap konten film streaming berbayar milik Netflix. KPI mewacanakan penyensoran konten Netflix mengacu pada Undang-Undang Penyiaran. Namun, hingga kini wacana tersebut belum terealisasikan.
Komisioner KPI, Yuliandre Darwis mengatakan, pihaknya ingin mendefinisikan penyiaran secara maksimum, secara kompleks. Tak hanya pada televisi dan radio, namun melalui media penyiaran lainnya seperti Netflix.
-
Kenapa Ivan Gunawan ditegur KPI? Ivan Gunawan Pamit dari 'Brownis' Setelah Ditegur KPI soal Gaya Busana Disebut Mirip Perempuan
-
Siapa yang kagum dengan kekuatan TNI? Gamal Abdul Nasser Adalah Sahabat Dekat Presiden Sukarno Keduanya menjadi pelopor gerakan Non Blok. Karena dekat, Nasser bicara terus terang pada Presiden Sukarno.
-
Kapan Ganjar Pranowo berencana untuk memberantas KKN di Indonesia? Maka, pidato saya begitu terpilih, saya kumpulkan ASN saya, bapak ibu, mulai hari ini tidak ada korupsi, mulai hari ini tidak ada gratifikasi. Mulai hari ini tidak ada jual beli jabatan. Mulai hari ini tidak ada sogok sogokan,” jelas dia.
-
Kenapa Ivan Gunawan merasa kesal dengan teguran KPI? Ia merasa kesal dengan tuduhan yang menurutnya tidak memiliki dasar yang kuat.
-
Kenapa Hari Koperasi Indonesia diperingati? Tujuan peringatan ini guna mengingatkan pemerintah dan masyarakat untuk senantiasa menghidupkan koperasi sebagai jalan demi mewujudkan kesejahteraan bersama.
-
Kapan Pemilu di Indonesia dilaksanakan? Di Indonesia, tahun 2024 adalah tahun politik.
Menurutnya, sebaiknya ada undang-undang yang meregulasi terhadap konten yang disiarkan melalui media apapun. Seperti televisi, konten yang mengandung unsur dewasa memiliki jam tayang yang telah diatur KPI.
"Nah kalau di Netflix gimana, kan itu berbayar, itu Netfilxnya yang harus menyesuaikan. Kalau ada film-film seperti membunuh yang sadis, melecehkan bangsa, itu harus difilter lah agar cocok dengan bangsa lain," ujar Yuliandre saat dihubungi, Senin (13/1).
Dia pun mengharapkan, ada diskusi dengan pihak terkait ihwal tayangan atau konten yang akan disiarkan. "Bukan kita harus membatasi, tapi mereka harus tahu batasan-batasan, jadi bukan ada pelarangan, tapi harus ada batasan-batasan. Saya harap ada diskusi di situ," ujarnya.
Selain itu, dengan adanya perkembangan televisi maupun media lain yang terhubung dengan Netflix memiliki pengaman yang ketat. Hal ini untuk menghindari penyalahgunaan Netflix bagi anak-anak.
"Sekarang kan juga banyak di remote televisi yang ada 'Netflix button', saya harap itu ada semacam password untuk tombol itu, agar tidak semua anak bisa sembarang nonton," katanya.
Dihubungi terpisah, Ketua KPI Agung Suprio menyebut, selama sepuluh tahun terakhir, puluhan juta orang sudah berhenti berlangganan TV kabel di Amerika Serikat dan memilih menikmati layanan streaming seperti Netflix, Amazon Prime Video, Hulu, dan yang sejenisnya.
Adapun di beberapa negara Eropa seperti Inggris, Denmark, Swiss, dan Jerman pelanggan TV Kabel terus menurun. Pun terjadi di negara Asia, seperti India.
"Di Indonesia, kondisinya pun nyaris sama. Beberapa TV kabel collapse. MNC vision pemain besar TV Kabel, pendapatannya menurun sejak tahun 2014," kata Agung.
Menurutnya, pengguna TV kabel beralih untuk membeli paket data internet yang digunakan untuk menonton TV streaming. Namun, ia mengaku KPI memang belum menjangkau pengaturan atas layanan TV streaming.
Dia mengatakan, regulasi masih berpijak pada prinsip-prinsip penyiaran konvensional yaitu televisi dan radio konvensional atau tradisional. Padahal konsumsi masyarakat perkotaan dan generasi milenial telah bergeser kepada layanan televisi streaming.
"Terdapat kekosongan regulasi. Oleh karena itu, menjadi wajar jika terjadi respon yang berbeda-beda antarlembaga atas kehadiran televisi streaming, seperti Netflix. Saya ingin mengajak semua pemangku kepentingan untuk menyamakan persepsi seputar trend penyiaran ke depan. Dalam penyamaan persepsi tersebut ada satu hal yang menurut saya tidak dapat ditawar yaitu agar televisi streaming berbadan hukum tetap di Indonesia," ujar dia.
Konten Netflix dinilai tidak ramah anak. Sejumlah film yang ditayangkan menjadi sorotan. Misalnya film Girl, yang dianggap tak pantas karena menayangkan kisah tentang lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Selain itu, sitkom Atypical, yang dianggap sensitif terkait masalah kencan seorang pria autis. Acara ini dinilai hanya menggambarkan pria autis sebagai stereotip yang kutu buku.
Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi berharap, pengawasan dari hulu ke hilir terhadap konten di Netflix yaitu memiliki badan usaha tetap di Indonesia.
"Dengan badan usaha tetap, maka mereka akan patuh dan harus patuh pada aturan lokal. Seperti urusan perpajakan, aturan batasan usia, sensor dan bagaimana mereka juga bisa ikut mencerdaskan bangsa dan memberikan porsi yang cukup besar bagi lokal agar kreativitasnya diakomodasi di Netflix," kata Heru.
Hingga kini, pemerintah melalui Kementerian Keuangan masih mencari cara agar ada regulasi yang mengatur tentang perpajakan film streaming berbayar. Alhasil, Indonesia belum mampu memungut pajak dari Netflix.
Sementara, terkait konten, Indonesia memiliki aturan mengenai konten internet dan film. Untuk internet, ada UU ITE Nomor 11 Tahun 2008. Salah satunya melarang penyebaran pornografi, ujaran kebencian, dan semua hal berbasis SARA, dan lainnya. Adapun di perfilman ada klasifikasi usia dan sensor.
Heru menegaskan, pada dasarnya konten memang bebas namun terbatas. Salah satunya ada batasan usia dan hal-hal yang tidak pantas maka akan disensor. "Karena tidak semua penonton adalah di atas 17 tahun dan tidak semua film untuk semua umur," ucapnya.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu memberikan tempat bagi kreator lokal untuk berkreativitas. "Tapi ini ibarat pisau bermata dua, kalau kebablasan hal yang negatif akan sangat merugikan. Misal konten seks bebas, konten LGBT," ucapnya.
(mdk/rnd)