KPK Buka Peluang Periksa Menteri Investasi Bahlil Lahadalia Terkait Izin Tambang Nikel di Malut
KPK akan meminta klarifikasi Menteri Bahlil Lahadalia terkait perizinan pertambangan nikel
Rencana tersebut akan diawali dengan koordinasi antara penyidik bersama Kementerian Investasi/BPKM
KPK Buka Peluang Periksa Menteri Investasi Bahlil Lahadalia Terkait Izin Tambang Nikel di Malut
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan meminta klarifikasi Menteri Investasi dan Kepala BKPM Bahlil Lahadalia terkait proses perizinan pertambangan nikel di Maluku Utara (Malut).
Hal itu buntut desakan Anggota Komisi VII DPR, Mulyanto yang meminta lembaga antirasuah itu memeriksa Bahlil dengan kapasitasnya sebagai Kepala Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi.
"KPK mencermati informasi yang disampaikan masyarakat atau laporan investigasi majalah Tempo. KPK akan mempelajari informasi tersebut dan melakukan klarifikasi kepada para pihak yang dilaporkan mengetahui atau terlibat dalam proses perizinan tambang nikel,"
tutur Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat dikonfirmasi, Senin (4/3).
Menurut Alex, rencana tersebut akan diawali dengan koordinasi antara penyidik bersama Kementerian Investasi/BPKM agar proses itu dapat terlaksana.
"KPK akan berkoordinasi dengan Kementerian Investigasi/BPKM," ungkapnya.
Sebelumnya, Anggota DPR RI Mulyanto mendesak KPK melakukan pemeriksaan terhadap Bahlil Lahadalia dalam kapasitasnya sebagai Kepala Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi.
Dia diduga melakukan penyalagunaan wewenang dalam mencabut dan mengaktifkan kembali Izin Usaha Pertambangan (IUP) serta Hak Guna Usaha (HGU) lahan sawit di beberapa daerah.
"Keberadaan satgas penataan penggunaan lahan dan penataan investasi juga tumpang tindih. Harusnya tugas ini menjadi domain Kementerian ESDM karena UU dan kepres terkait usaha pertambangan ada di wilayah kerja Kementerian ESDM bukan Kementerian Investasi," tutur Mulyanto kepada wartawan.
Mulyanto mengaku mendengar adanya informasi, bahwa Bahlil dikabarkan meminta uang imbalan miliaran rupiah atau saham di masing-masing perusahaan untuk dapat mencabut dan memberikan kembali IUP dan HGU. Atas dasar itu, dia lantas meminta KPK untuk segera memeriksa Bahlil.
Terlebih, dia menilai keberadaan satgas yang dipimpin Bahlil sarat dengan kepentingan politik, di mana pembentukannya dilakukan jelang kampanye Pilpres 2024. Mulyanto menduga, pembentukan satgas menjadi upaya legalisasi pencarian dana pemilu untuk salah satu peserta.
"Terlepas dari urusan politik saya melihat keberadaan satgas ini akan merusak ekosistem pertambangan nasional. Pemerintah terkesan semena-mena dalam memberikan wewenang ke lembaga tertentu,” jelas dia.
Mulyanto mengatakan, urusan tambang yang seharusnya menjadi kewenangan Kementerian ESDM pun kini malah diambil alih oleh Kementerian Investasi.
“Padahal terkait pengelolaan tambang tidak melulu bisa dilihat dari sudut pandang investasi tapi juga terkait lingkungan hidup dan kedaulatan pemanfaatan sumber daya alam nasional," pungkas Mulyanto.