Jaksa KPK dinilai bisa masukan PT DGI dalam tuntutan Dudung Purwadi
Namun dalam praktiknya, tuntutan terhadap DGI yang telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi korporasi oleh KPK bisa dilakukan bersamaan dengan tuntutan kepada Dudung.
Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disarankan melakukan penuntutan terhadap mantan Direktur Utama Duta Graha Indah Tbk (DGIK) Dudung Purwadi sekaligus dengan perusahaannya. Dudung menjadi terdakwa kasus korupsi pengadaan alkes RS Khusus Pendidikan Kedokteran di Universitas Udayana dan kasus proyek Wisma Atlet Palembang Sumatra Selatan.
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM), Eddy SO Hiariej mengatakan, masuknya Pasal 18 ayat 1 UU Tipikor dalam dakwaan Dudung karena Jaksa ingin menyatukan kasus ini dan kasus korporasi yang menimpa DGI dalam satu berkas penuntutan. Namun dalam praktiknya, tuntutan terhadap DGI yang telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi korporasi oleh KPK bisa dilakukan bersamaan dengan tuntutan kepada Dudung.
Untuk diketahui, dalam dakwaan Jaksa KPK sebelumnya, Dudung disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Jo Pasal 18 ayat 1 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pencantuman Pasal 18 ayat 1 UU Tipikor dalam dakwaan Dudung ini menjadi hal baru. Sebab, selama proses penyidikan, Dudung hanya disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor.
"Hal ini dilakukan agar pemberantasan korupsi bisa dilakukan secara efisien dan efektif, tidak membuang banyak waktu. Tidak ada salahnya jika dalam tuntutan nanti selain menuntut dirutnya, juga dituntut PT DGI sebagai korporasi," katanya di Jakarta, Jumat (27/10).
Eddy mengungkapkan, Pasal 18 ayat 1 UU Tipikor berkaitan dengan ketentuan uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi. DGI telah memberikan uang titipan kepada KPK sebesar Rp 39 miliar. Dana ini diberikan sebagai sikap proaktif perusahaan bila nantinya pengadilan tipikor memutuskan adanya penggantian uang negara akibat tindak pidana yang dilakukan.
"Korporasi tidak mungkin dijatuhi hukuman pidana badan, hukumannya adalah denda atau uang pengganti. Karena ini dirutnya sudah dituntut, korporasinya sebaiknya sekalian di proses, biar kepastian hukumnya juga jelas bagi DGI," jelasnya.
Kasus yang terjadi pada DGI sejatinya bukan hal baru. Sebelumnya dalam kasus PT Asian Agri, dimana Tax Manager Asian Agri dihukum, korporasinya juga divonis bersalah dan harus mengembalikan uang Rp 2,5 triliun. Begitu pun dalam kasus PT IM2, anak usaha PT Indosat Tbk. Meskipun belum menjadi tersangka, ketika dirutnya divonis bersalah, IM2 sebagai korporasi juga langsung dihukum oleh majelis hakim.
Eddy menegaskan, sasaran utama penegakan hukum perkara tipikor adalah memulihkan kerugian negara dan menghukum pelakunya sesuai dengan kesalahannya. Karena itu, jika akibat kesalahan manajemen kemudian tuntutan kepada korporasi dilakukan terpisah akan memakan waktu lama dan menciptakan ketidakpastian.
"DGI sebagai korporasi punya karyawan, punya investor dan patner kerja. Ini yang mesti dipertimbangkan oleh aparat penegak hukum. Jangan sampai perusahaan ini bubar sementara proses hukumnya tidak pernah jelas. Langkah pemidanaan harus memberikan manfaat," tutupnya.