Lingkar Lengan Istri Kurang dari 23,5 Cm, BKKBN Sarankan Tunda Kehamilan
Seseorang yang baru menikah untuk menunda kehamilan jika lingkar lengannya kurang dari 23,5 cm
Hal ini dilakukan demi kesehatan bagi yang akan dilahirkan.
- Kini Tinggal Kenangan, Intip Momen Mesra Cagub Maluku Utara Benny Laos dengan Istri Bikin Baper
- Angka Pernikahan Turun Drastis, BKKBN: Semakin Kaya, Pendidikan Tinggi Sebab Usia Menikah Mundur
- Bak Sinetron, Perempuan Ini Akhirnya Menikah dengan Bos Sendiri
- Tak Hanya sebagai Hiasan di Kepala Pengantin Wanita, Ini Makna Siger pada Pernikahan Adat Sunda
Lingkar Lengan Istri Kurang dari 23,5 Cm, BKKBN Sarankan Tunda Kehamilan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyarankan seorang perempuan baru menikah untuk menunda kehamilan jika lingkar lengannya kurang dari 23,5 cm.
Menurut Kepala BKKBN dr Hasto Wardoyo penundaan kehamilan dilakukan demi kesehatan bagi yang akan dilahirkan.
"Ditunda dulu hamilnya, terapi dulu untuk fokus menambah lingkar lengannya," ujar dr Hasto dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (30/4).
Ia juga mengingatkan bahwa usia 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) atau bayi umur nol hingga 24 bulan sangat menentukan kualitas tumbuh kembang bayi ke depan.
"1.000 HPK diperhitungkan semenjak ibu hamil, dan otak manusia mayoritas berkembang sampai 24 bulan. Setelahnya, Tuhan menutup ubun-ubun, tulang akan ketemu tulang," kata Hasto dilansir dari Antara.
Mengingat pentingnya masa 1.000 HPK tersebut, Hasto juga berpesan agar ibu menyempurnakan menyusui sampai usia 24 bulan.
"Itulah makna 1.000 HPK, dengan memperhatikan tumbuh kembang anak di usia 1.000 HPK, ibu hamil akan terhindar melahirkan bayi stunting, atau jika anak terindikasi stunting, maka bisa diatasi sejauh usia anak tidak melebihi dua tahun," tuturnya.
Menurutnya, angka stunting saat ini tidak perlu dirisaukan, karena masih dalam proses penghitungan, sehingga pemerintah daerah dan seluruh masyarakat sebaiknya fokus bekerja keras untuk membantu menurunkan angka stunting.
"Saat ini angka stunting tidak perlu dirisaukan, yang penting kita kerja keras saja. Toh, nanti hasilnya pasti akan terlihat. Bisa kita lihat dari hasil ePPGBM (elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat," paparnya.
Sebelumnya, Hasto juga menyebut pentingnya pemadanan data stunting antara elektronik pencatatan dan pelaporan gizi berbasis masyarakat (EPPGBM) dan Survei Kesehatan Indonesia (SKI).
"EPPGBM itu datanya didapatkan dari posyandu melalui penimbangan, alatnya sudah baru, petugasnya sudah dilatih, kemudian dia mengerjakan serentak, hasilnya dikumpulkan. Data ini harus diverifikasi, karena data yang di EPPGBM itu sudah jauh di bawah 20 persen (stuntingnya)," ucapnya.
Menurut dia, data EPPGBM jika dianalisis secara menyeluruh, maka angka stunting bisa di bawah 14 persen.
"EPPGBM itu seperti real count, sedangkan SKI itu seperti quick count, karena survei. Oleh karena itu, yang perlu kita sikapi seperti arahan Menteri Kesehatan, sekarang EPPGBM dimaksimalkan menjadi 100 persen, jadi penimbangan-penimbangan yang belum lengkap, dimaksimalkan sampai 100 persen," pungkas dr Hasto.