Luhut soal sidang IPT kasus 1965: Ya suruh mereka temui saya!
Luhut membantah terjadi pembantaian besar-besaran oleh negara pasca peristiwa 1 Oktober 1965 yang disebutkan IPT.
Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan membantah terjadi genosida atau pembantaian besar-besaran oleh negara pasca peristiwa 1 Oktober 1965 yang disebutkan International People’s Tribunal (IPT). Luhut juga mempertanyakan jumlah genosida yang disebutkan IPT sekitar 600 ribu orang.
"Kok dia (International People’s Tribunal) yang ngatur kita? Kamu harus bangga jadi orang Indonesia, kita enggak ada genosida. Genosida tuh berapa sih? Yang mati mana ada banyak orangnya?," kata Luhut di Kantornya, Jakarta, Rabu (20/7).
Sementara hasil sidang IPT yang dibacakan Hakim Ketua, Zak Jacoob menyatakan, negara Indonesia bertanggungjawab atas beberapa kejahatan terhadap kemanusiaan melalui rantai komandonya. Selanjutnya, pembunuhan massal yang diperkirakan menimbulkan ratusan ribu korban. Kemudian penahanan dalam kondisi tak manusiawi, di mana jumlah korban diperkirakan mencapai sekitar 600.000 orang.
Namun Luhut menampik jumlah yang meninggal sekitar 600 ribu orang. Jika ada yang bisa membuktikan jumlah korban, Luhut mengatakan untuk menemuinya.
"Ya suruh datang kemari dia," kata dia.
Selanjutnya, dia juga membantah keterlibatan Amerika Serikat dan Inggris dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 lalu. Menurutnya, Presiden Joko Widodo sangat terbuka terhadap penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia ini.
"Enggak ada, kau belum lahir di langit mana kau tahu. Ya tidak ada saya masih hidup di situ, tidak ada. Kita sangat care dan presiden sangat terbuka soal itu. Kalau ada yang ngomong itu suruh datang kemari," tegas Luhut.
Majelis hakim internasional dari International People's Tribunal tentang Kejahatan terhadap Kemanusiaan Indonesia 1965 menyatakan telah terjadi perbudakan orang-orang di kamp tahanan seperti di Pulau Buru. Selain itu, terdapat juga bentuk penyiksaan, penghilangan paksa, dan kekerasan seksual.
Dalam hasil temuan sidang tersebut, terungkap ada keterlibatan negara lain. Amerika, Inggris dan Australia atas tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan meskipun dengan derajat keterlibatan yang berbeda-beda.
Negeri Paman Sam diketahui memberi dukungan cukup besar kepada militer Indonesia. Amerika mengetahui bahwa Pemerintah Indonesia saat itu akan melakukan sebuah pembunuhan massal.
Bukti jelas adalah adanya daftar nama pejabat Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dimiliki Amerika. Daftar tersebut berisi nama pejabat PKI akan ditangkap dan diduga akan dibantai.
Atas hasil dan temuan tersebut, Majelis Hakim merekomendasikan Pemerintah Indonesia meminta maaf kepada para korban, penyintas, dan keluarga korban. Pemerintah didesak melakukan penyelidikan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana tuntutan Komnas Perempuan Komnas HAM dalam laporannya.