Mantan Ketua MK Hamdan Zoelva Kritisi PP Piutang Negara: Banyak Norma Bertentangan
Hamdan menilai PP itu cacat hukum lantaran saling tumpang tindih dan inkonsisten dengan peraturan hukum lainnya.
Tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2022.
Mantan Ketua MK Hamdan Zoelva Kritisi PP Piutang Negara: Banyak Norma Bertentangan
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva buka suara mengenai adanya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2022 tentang Pengurusan Piutang Negara Oleh Panitia Urusan Piutang Negara.
Hamdan menilai PP itu cacat hukum lantaran saling tumpang tindih dan inkonsisten dengan peraturan hukum lainnya.
- TNI Ungkap Kondisi Luka Prajurit Lawan Arah di Tol MBZ, Pegang Komitmen Usut Tuntas Perkara
- Ini Aturan TNI Bantu Masalah Hukum Keluarga Prajurit, Tak Bisa Asal Gagah-gagahan
- Casis TNI Ketahuan Ingin Merokok, Langsung Dapat Hukuman Jilat Akar Sakti
- Hati-Hati, Tak Patuh Menerobos Palang Pintu Kereta di Perlintasan Sebidang Bisa Kena Sanksi
Hal itu ia sampaikan dalam acara diskusi Federasi Advokat Republik Indonesia (Ferari) bertajuk Disharmonisasi dan Overlapping Sebuah Peraturan Pemerintah di Oakwood Suites, Kuningan, Jakarta, Senin (21/7). "Saya kira ada banyak masalah di PP ini yang harus diperbaiki. Ada banyak norma-norma yang ada di dalamnya bertentangan dengan UU dan peraturan lainnya yang bertentangan di dalamnya," kata Hamdan.
Hamdan mengkritisi sejumlah pasal dalam PP itu, diantaranya Pasal 1 terkait warisan hutang. Dalam pasal tersebut berbunyi Pihak yang Memperoleh Hak adalah orang atau badan yang karena adanya perbuatan, hubungan hukum dan/atau peristiwa hukum telah menerima pengalihan atas kepemilikan uang, surat berharga dan/atau barang dari Penanggung Utang/Penjamin Utang.
Selain itu, Pasal 7 ayat 1 tentang kewenangan PUPN yang bisa menerbitkan surat permintaan izin mencabut hak keperdataan dan layanan publik, tidak bisa membuat KTP, Surat Izin Mengemudi (SIM) hingga Passpor itu melanggar UU No 39 tentang HAM dan melanggar UU No 25 tentang Pelayanan Publik serta Pasal 49-53 soal Tindak Keperdataan atau Layanan Publik Bertentangan dengan UU No 39. "Pasal 77 soal Upaya Hukum oleh penanggung hutang, penjamin hutang, pihak yang memperoleh Hak atau pihak ketiga lainnya tidak dapat diajukan terhadap sahnya atau kebenaran Piutang Negara, baik di pengadilan maupun di luar Melanggar Pasal 17 UU HAM Hak Memperoleh Keadilan," ujar Hamdan.
Senada, mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan mengatakan Lahirnya PP Nomor 28 Tahun 2022 tersebut ditengarai akibat situasi ekonomi yang tidak menentu karena krisis global, sehingga mendorong Negara mengerahkan seluruh sumber dayanya untuk memastikan perkonomian Negara tidak terpuruk. Salah satunya dengan memaksimalkan pendapatan negara melalui penagihan Piutang Negara melalui instrumen PP No. 28/2022. "Namun sayangnya intrumen tersebut berpotensi menimbulkan tindakan sewenang-wenang Negara yang berakibat pada terlanggarnya hak asasi warga negara," ujar Maruarar.
Sementara, Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menegaskan agar Ferari dan pegiat HAM lainnya untuk segera mengajukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Agung. Sebab PP tersebut sangat bertentangan dengan peraturan hukum lainnya di atasnya. "Melakukan Judicial Review ke Mahkamah Agung adalah langkah yang sangat baik untuk menguji PP ini. Kedua, saya mengimbau kepada pemerintah yang menjalankan PP ini untuk secara bijak menyelesaikan kasus BLBI tersebut," tegas Margarito.