Menggaungkan Zero Bullying di Lingkungan Pendidikan
Isu kesehatan mental dan perundungan (bullying) sedang menjadi sorotan dalam dunia pendidikan kedokteran.
Isu kesehatan mental dan perundungan (bullying) sedang menjadi sorotan dalam dunia pendidikan kedokteran. Padahal pendidikan dokter sebagai kawah candradimuka harus mampu melahirkan dokter yang adaptif, profesional, berintegritas, berakhlak mulia serta mampu menjadi pemimpin perubahan.
Untuk itu, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair) berkolaborasi dengan ESQ menghadirkan era baru pendidikan dokter dengan penguatan IQ, EQ dan SQ yang ditandai dengan penandatanganan MoU yang teken oleh Founder ESQ Group Ary Ginanjar Agustian dan Dekan FK Unair Budi Santoso.
- Melindungi Generasi Digital: Cyberbullying dan Kesehatan Mental Anak-Anak
- Perlakuan dan Penolakan Tegas dari Masyarakat Berperan Penting dalam Pencegahan Perundungan
- 62 Kata-kata Bijak Stop Bullying di Sekolah, Sebarkan Pesan Positif ke Generasi Muda
- Kata-Kata Bullying Bijak, Bikin Kesadaran Melawan Perundungan Semakin Membara
Budi mengatakan bahwa FK Unair menarget zero kasus bullying dan depresi mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Ia menyebut, fenomena itu terjadi di hampir semua jenjang pendidikan TK, SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi.
“Dalam upaya zero bullying, depresi, stress kita mencoba pendekatan preventif sebelum kejadian,” ujar Budi.
Dalam upayanya, dengan membentuk alur penanganan bullying juga konsultasi tanda awal depresi. “Kita FK Unair dan RSUD Dr. Soetomo sudah buat alur penanganan bullying, depresi, juga kita buat unit konsultasi masalah stres, depresi,” imbuhnya.
Misalnya, lanjut Budi, stres karena salah jurusan akan dilakukan pendekatan hingga difasilitasi pindah jurusan sesuai keinginan.
Soal tingkat depresi di PPDS FK Unair, ia menyebut masih dalam batas wajar dan terkendali. Pencegahan dini juga dilakukan dengan menggandeng ESQ untuk menangani masalah kesehatan mental mahasiswa hingga pengajar selain tata cara baku yang fakultas punya.
“Seperti disampaikan tadi, tidak cukup dengan kecerdasan intelektual, tapi kecerdasan mengelola emosi dan spiritual. Selain peserta didik, dosen pengajar, juga staf (akan) dibekali,” paparnya.
Sementara itu, melansir dari beragam informasi media massa dan interview, Ary Ginanjar menyatakan bahwa isu kesehatan mental telah ia prediksi akan menjadi masalah besar sejak 25 tahun yang lalu.
Menurutnya, kecerdasan intelektual saja tidak cukup untuk menjalankan profesi apapun tanpa didukung kecerdasan emosional dan spiritual.
“Seperempat abad kemudian (sekarang) menggema di mana-mana (isu mental health). Ini membuktikan kecerdasan intelektual tidak cukup menjalankan profesi apapun,” ujar Ary.
Ia pun mengusulkan lima langkah untuk mencegah masalah kesehatan mental, khususnya di lingkungan pendidikan kedokteran.
Pertama, memberikan bekal kecerdasan spiritual kepada para dokter. Kedua, membekali mereka dengan kecerdasan emosional agar mampu merespons masalah secara cepat dan tepat.
Langkah ketiga, kampus harus melakukan penyaringan (screening) calon mahasiswa agar sesuai dengan kompetensi. ESQ memiliki life tools yang bernama TalentDNA. Ia menyebut bahwa 70 persen mahasiswa memilih jurusan yang salah.
“Pencegahannya dilakukan di awal sebelum masuk, atau kalau sudah terlambat, minimal mahasiswa dan pembimbingnya harus menyadari hal ini,” lanjut Ary.
Lalu kelima, jika langkah-langkah tersebut belum cukup, maka dosennya harus dibekali ilmu untuk mengatasi masalah kesehatan mental ini.
"Semoga dengan Strategi Holistik ESQ, para dokter dan calon dokter spesialis mendapatkan bekal ilmu mental health, bagaimana menjadi pribadi yang bermental tangguh dan sekaligus memutus mata rantai bullying yang kerap terjadi," pungkas Ary.