Mengintip Festival Teater Jakarta yang makin minim peminatnya
"Sebagai teater pembuka festival tentu kami beban mental. Tapi kami tetap memberikan yang terbaik," ujar Eka Kartika.
Ruangan gelap berpanggung itu perlahan menjadi remang. Empat orang penari muncul dari penjuru mata angin berbeda. Di tengah pentas satu perempuan terikat berusaha melepaskan diri dari jeratan. "Infotainment sialan!", suaranya tegas memaki ke arah depannya.
Itu salah satu adegan dari lakon Keluh Seling dibawakan oleh kelompok Teater Kinasih dari kampus Institut Ilmu Sosial Ilmu Politik (IISIP), Jakarta. Teater ini menjadi salah satu dari 15 grup bakal tampil di ajang Festival Teater Jakarta Selatan (FTJS) 2014 diselenggarakan di Gedung Pertunjukan Bulungan, Blok M, Jakarta Selatan.
Teater Kinasih menjadi kelompok pembuka di FTJS diselenggarakan mulai 18-30 September. Selain Teater Kinasih, ada pula Teater Hijau 51 dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran sampai Teater Qastalani dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) bakal berlaga di sana.
"Sebagai teater pembuka festival tentu kami beban mental. Tapi kami tetap memberikan yang terbaik," ujar Eka Kartika, sutradara sekaligus penulis naskah Keluh Seling.
Hasil pantauan merdeka.com, Kamis (18/9), Keluh Seling membeberkan secara gamblang pelbagai persoalan negeri ini jadi hal sepele sebab dikemas dari sudut berbeda oleh infotainment. Naskah itu bercerita soal impor daging sapi melibatkan banyak petinggi Partai Keadilan Sejahtera tapi dibelokkan oleh pemburu berita hiburan menjadi kasus cinta segitiga, perselingkuhan, hingga prostitusi mahasiswi bernama Maharani Suciyono.
"Betapa infotainment sudah mencengkram dan membuat propaganda di otak kita semua, terutama mereka yang nonton. Pandangan kita akan digiring sesuai kemasan mereka. Harusnya kita menyorot si Fathanah atau Lutfhi Hasan Ishaq, ini malah ngupas Septi Sanustika. Ya tenggelam lah kasusnya. Kalah mentereng sama penampilan Septi," kata Eka lagi.
Eka menambahkan ini hanya sebagian kecil kasus yang 'diselewengkan' nilainya oleh infotainment. Ada puluhan bahkan ratusan kasus lagi tiba-tiba menjadi tidak penting jika pemburu berita hiburan itu ikut campur.
Eka cukup jeli menghadirkan kasus impor suap daging sapi dengan gaya infotainment di atas panggung. Namun juri terdiri dari Andi Bersama, Jack Sorga, dan Ohan Adiputra menilai masih banyak kekurangan terutama soal vokal yang kurang terdengar oleh penonton berjarak cukup jauh dari panggung.
FTJS kali ini masuk ke-42 tahun. Juri mengatakan kelompok yang mendaftar untuk mengikuti festival semakin berkurang jumlahnya dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. "Puncaknya teater saat terguling Orde Baru. Seniman benar-benar bebas mengekspresikan diri. Naskah-naskah dianggap melawan pemerintah mulai dipentaskan kembali. Namun euforianya kini pelan-pelan berakhir," ujar Ohan.
Ohan berharap ke depannya kembali bermunculan kelompok-kelompok teater dan semangat baru menjaga eksistensi seni ini sebagai salah satu budaya Indonesia.