Menunggu Langkah Konkret Jokowi Revisi UU ITE
“Pernyataan tersebut tidak boleh sebatas pernyataan retorik ataupun angin segar demi populisme semata. Pernyataan tersebut harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkret,” kata Erasmus dalam keterangan tertulisnya yang diterima merdeka.com, Selasa (16/2).
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari 19 lembaga pegiat demokrasi mendesak Presiden Joko Widodo untuk membuktikan ucapannya yang meminta DPR untuk merevisi UU ITE. Mewakili Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia, Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu berharap, pernyataan Jokowi pada 15 Februari kemarin bukanlah pernyataan populis semata.
“Pernyataan tersebut tidak boleh sebatas pernyataan retorik ataupun angin segar demi populisme semata. Pernyataan tersebut harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkret,” kata Erasmus dalam keterangan tertulisnya yang diterima merdeka.com, Selasa (16/2).
-
Siapa yang menggugat Presiden Jokowi? Gugatan itu dilayangkan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melayangkan gugatan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
-
Bagaimana Presiden Jokowi saat ini? Presiden Jokowi fokus bekerja untuk menuntaskan agenda pemerintahan dan pembangunan sampai akhir masa jabaotan 20 Oktober 2024," kata Ari kepada wartawan, Senin (25/3).
-
Siapa yang meminta tanda tangan Presiden Jokowi? Pasangan artis Vino G Bastian dan Marsha Timothy kerap disebut sebagai orang tua idaman. Pasalnya demi impian sang anak, Jizzy Pearl Bastian, pasangan orang tua ini rela melakukan segala cara.
-
Kapan Presiden Jokowi meresmikan Bandara Panua Pohuwato? Presiden Joko Widodo atau Jokowi meresmikan Bandar Udara Panua Pohuwato di Provinsi Gorontalo.
-
Apa isi dari gugatan terhadap Presiden Jokowi? Gugatan itu terkait dengan tindakan administrasi pemerintah atau tindakan faktual.
-
Kapan Jokowi mencoblos? Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah melakukan pencoblosan surat suara Pemilu 2024 di TPS 10 RW 02 Kelurahan Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (14/2).
Erasmus mengatakan, Koalisi mendesak pemerintah untuk menghapus seluruh pasal-pasal yang multitafsir dan berpotensi over kriminalisasi dalam UU ITE. Dia mengatakan, rumusan pasal-pasal dalam UU ITE yang sudah diatur dalam KUHP tidak jelas. Selain itu ancaman pidananya malah lebih tinggi. Dia pun memaparkan pasal-pasal tersebut.
“Kami, ICJR, LBH Pers dan IJRS yakin hal ini menyebabkan banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang dilanggar karena penggunaan pasal-pasal duplikasi dalam UU ITE. Misalnya, Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang memuat unsur melanggar kesusilaan,” kata dia.
Padahal, kata Erasmus, pasal tersebut seharusnya dikembalikan kepada tujuan awalnya seperti yang diatur dalam Pasal 281 dan pasal 282 KUHP dan/ atau UU Pornografi bahwa sirkulasi konten melanggar kesusilaan hanya dapat dipidana apabila dilakukan di ruang publik dan ditujukan untuk publik.
“Bukan justru diatur dengan konteks dan batasan yang tidak jelas. Selama ini Pasal 27 ayat (1) UU ITE justru menyerang kelompok yang seharusnya dilindungi dan diterapkan berbasis diskriminasi gender,” kata dia.
Selain itu, Koalisi juga menilai Pasal 27 ayat (3) soal penghinaan juga kerap kali digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang online. Dia menilai pidana penghinaan tidak lagi relevan dalam banyak aspek karena kata dia, aparat sudah mulai harus mengarahkan delik penghinaan ke ranah perdata.
“Yang memang sudah diakomodir misalnya dalam 1372 KUHPerdata (BW). Pasal tersebut seharusnya dirumuskan dengan sangat jelas. Komentar umum PBB No. 34 merekomendasikan dihapusnya pidana defamasi, jika tidak memungkinkan aplikasi diperbolehkan hanya untuk kasus paling serius dengan ancaman bukan pidana penjara,” ujarnya.
Pasal lainnya yakni 28 ayat (2) UU ITE tentang penyebaran informasi yang menimbulkan kebencian berbasis SARA. Koalisi melihat pasal tersebut tidak dirumuskan sesuai dengan tujuan awal perumusan tindak pidana tentang propaganda kebencian.
“Pasal ini justru menyasar kelompok dan individu yang mengkritik institusi dengan ekspresi yang sah. Pasal ini kerap digunakan untuk membungkam pengkritik Presiden, yang mana oleh Mahkamah Konstitusi dianggap inkonstitusional saat menghapus pasal tentang penghinaan terhadap Presiden,” kata Erasmus.
Baca juga:
LBH Jakarta Khawatir Jokowi Hanya Retorika Politik Soal Revisi UU ITE
Kompolnas Ingin Polri Utamakan Mediasi saat Tangani Laporan Kasus UU ITE
UU ITE Perlu Dirombak Total
Revisi UU ITE Bisa Masuk Prolegnas 2021
DPR: Polri Harus Pilah Laporan UU ITE, Jangan Tidak Masuk Unsur Pidana Dipaksakan
Anggota Komisi I: UU ITE Harus Jadi Pagar Dalam Memanfaatkan Media Digital