Meski ada onak dan duri, di Nusantara metal bakal tetap lestari
Fanatisme penggemar metal yang kokoh terbentuk pada 1990-an, disinyalir menjadi salah satu biang kerok stagnasi skena.
Musik metal mulai menurun pamornya pada awal abad 21. Dalam artian, rilisan fisik tak terlalu banyak muncul, meski dari segi aktivitas komunitas, jumlahnya cenderung stabil.
Samack, pengamat musik metal yang aktif di Malang, Jawa Timur, menyebut surutnya album metal, untungnya diimbangi intensitas konser pelaku musik cadas di daerah. "Kalau konser sejak tahun 2000-an meningkat, bahkan di Malang hampir tiap minggu ada gigs kecil," ujarnya saat dihubungi merdeka.com, Kamis (22/8).
Fanatisme penggemar metal yang kokoh terbentuk pada 1990-an, disinyalir menjadi salah satu biang kerok stagnasi skena. Setidaknya itu yang dialami Aditya Saputra, pelaku sekaligus penikmat metal asal Jakarta. Sebab, musik cadas ini jadi jalan di tempat, karena ada kaum-kaum puritan yang tidak suka perubahan dalam karya metal di Tanah Air.
"Terutama dalam inovasi karya. Gig-gig besar isinya cuma band-band yang itu lagi itu lagi. Kalaupun ada band baru ya dengan style genre yang gitu-gitu saja. Padahal di luar negeri perkembangan musik metal udah kemana-mana," keluhnya.
Internet, menjadi penyebab lain kemunduran metal dari segi penjualan fisik. Kemudahan mengunduh lagu yang disuka, walau sebetulnya ilegal, membuat kaset dan CD mati suri. Namun, "kemunduran" ini hanya berlaku untuk pihak yang ingin membisniskan metal dengan skala masif.
Bagi komunitas independen, kondisi sekarang malah lebih sehat. Sebab, hulu hingga hilir skena metal jelas alurnya.
"Kalau (1990-an) industrinya belum teraba, kalau sekarang ngerilis kelihatan yang beli berapa walau cuma 100 biji. Bikin merchandise laku, bisa konser, sekarang uangnya lebih banyak atau paling enggak dapat profit," ungkap Samack.
Internet pula, bagi Samack, yang menggerus level fanatisme di periode 2009 ke atas. Pendengar metal di pelbagai kota Indonesia justru semakin meluas segmennya. Sebelum abad 21, mustahil anak punk bersedia mendengar musik metal. Kini, bermunculan pula musisi metal yang mau melakukan inovasi dengan mencampur musiknya dengan genre lain.
"Anak metal sekarang suka Efek Rumah Kaca (band alternatif-red), post rock, sekarang lebih terbuka berani eksplor (musik lain) karena referensi lebih banyak, efek paling besar ya karena internet," ujarnya.
Saat ini, subgenre metal yang sedang naik pamor di Indonesia adalah sludge ataupun post-metal. Jenis musik metal itu, memberi ruang bagi eksplorasi bunyi, tak sekadar menggeber distorsi secepat dan sekencang mungkin seperti zaman kejayaan trash metal atau heavy metal pada 90-an.
SSSLOTHHH, Vallendusk, dan Ghaust, untuk menyebut beberapa nama, kini jadi raja baru, menyejajarkan diri dengan senior metal lokal macam Death Vomit atau Burgerkill.
Aditya percaya, semakin beragam pelaku musik metal yang tampil di panggung-panggung, maka dampaknya akan bagus bagi perkembangan musik ini di masa depan. "Gue setiap dateng ke gig metal berharapnya bisa dapet macam-macam rasa. Yang isinya band-band metal segar," tandasnya.
Riuh rendah lain skena metal Tanah Air adalah perpecahan kubu. Beberapa tahun terakhir, muncul aliran metal satu jari, sebuah tawaran konsep musik cadas bernuansa Islami yang diserukan Ombat, pentolan band Tengkorak.
Dalam beberapa kasus, aliran ini menyerukan agenda lebih politis, seperti penolakan invasi Israel di Palestina. Seringkali, penggemar musik metal biasa kerap berseteru dengan mereka.
Irfan Sembiring, musisi trash metal senior di Indonesia, tak mau ambil pusing dengan perseteruan aliran "satu jari" - melambangkan tauhid sekaligus sebutan bagi penikmat musik metal islami - dengan penggemar metal konvensional.
Pria yang saban hari berkeliling masjid untuk dakwah ini menyebut perkembangan metal ke daerah yang kini masif, lebih patut diapresiasi. Sebab, dakwah dan melakoni jalan hidup metal, merupakan dua hal berbeda.
"Dulu metal eksklusif, sekarang desa-desa, kecamatan, sudah ada basis metal. Soal metal satu jari, ya gini aja, dakwah kalau mengikuti cara nabi mendatangi orang, dari rumah ke rumah, bukan lewat musik," paparnya.
Tesis serupa diserukan Aditya. Dia berharap, aliran apapun, ideologis maupun tidak, idealnya bersatu demi perkembangan metal. "Di skena mustinya semuanya melebur. Enggak peduli dari latar belakang apapun. Dari yang relijius sampai penyembah tabung gas semuanya ya mustinya nyatu. Bersenang-senang bareng," serunya
Dengan segala onak dan duri tersebut, Samack yakin metal akan tetap lestari. Hanya saja, dia mengingatkan bahwa sejatinya, metal selalu merupakan musik dengan segmen pasar tertentu. Jangan dibayangkan album metal bakal laku jutaan keping seperti album pop.
Kuncinya, adalah anak muda. Selama jiwa muda yang ingin tawaran musik berbeda ada di negara ini, maka metal, dari aliran apapun, bakal selamanya tumbuh dan berkembang.
"Metal pasarnya masih ada, meskipun enggak pernah membesar, enggak akan mengecil juga. Karena musiknya cenderung keras, cocok buat anak muda, apalagi usia muda, ngerasanya harus ngedengerin musik yang lebih keras, masuknya di situ," ujar Samack yakin.