Migrant Care sebut aturan larang buruh bercerai langgar HAM
Migrant Care sebut aturan larang buruh bercerai langgar HAM. UU itu (Nomor 39 Tahun 2004) kan mengabaikan HAM, mengabaikan buruh migran sebagai subyek.
Keberadaan buruh migran yang selama ini menjadi salah satu sumber devisa terbesar masih dianggap sebelah mata. Bahkan, peraturan yang mengatur soal buruh migran hingga saat ini masih dinilai mengabaikan Hak Asasi Manusia (HAM). Persoalan tersebut, diakui Migrant Care, muncul dalam peraturan daerah terbaru mengenai buruh migran di wilayah Ponorogo Jawa Timur, yang mengabaikan hak sipil.
"Saya menyesalkan perda paling baru di Ponorogo, isinya melarang buruh migran bercerai. Ini kan melanggar hak sipil warga negara," kata Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah usai mengisi agenda bedah buku Suami Buruh Migran antara Hasrat Seksual dan HIV/AIDS di aula Kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Kamis (23/11).
Anis mengaku tidak heran jika banyak perda yang tidak berpihak pada buruh migran karena mengacu pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Ia menilai, undang-undang tersebut dinilai sudah cacat hukum dan seharusnya diganti dengan kebijakan baru yang berbasis HAM dan buruh migran sebagai subyek.
"UU itu (Nomor 39 Tahun 2004) kan mengabaikan HAM, mengabaikan buruh migran sebagai subyek, bahkan itu tidak memenuhi syarat undang-undang karena tidak ada naskah akademiknya. Cacat hukum lah, sesat hukum. Makanya pascatahun 2012, ketika kita ratifikasi konvensi buruh migran sebagai standar baru untuk melindungi buruh migran, semestinya lahir kebijakan baru," ujarnya.
Meski lahir banyak perda yang tidak berpihak pada buruh migran, Anis mengemukakan Migrant Care saat ini sedang melakukan kajian terhadap 27 kebijakan mengenai buruh migran di berbagai daerah. Dari kebijakan tersebut, ia menyebut, rerata berisi nir-HAM atau memiliki perspektif HAM yang sangat minim.
"Tetapi ada kebijakan yang sedikit lebih baik, Perda Nomor 20 Tahun 2015 di Kabupaten Lembata, NTT dan ada sekitar 13 perdes tentang TKI itu juga lebih bagus," ucapnya.
Diakuinya, banyak perspektif yang dituangkan dalam peraturan terhadap buruh migran kerap menjauhkan dari aspek perlindungan. Ia mengemukakan, kajian kebijakan buruh migran tidak dilakukan secara komprehensif.
"Jadi melihat persoalannya tidak komprehensif, jadi pendekatannya bukan HAM, pendekatannya berbasis ekonomi, buruh migran subyek, masah yang dilihat juga tidak utuh, sehingga kebijakan yang dibuat ala kadarnya, asal ada peraturan," ujarnya.
Ia berharap, universitas berperan besar membantu membuat kebijakan yang berbasis pada penelitian buruh migran. Migran care sebagai salah satu organisasi yang berfokus pada buruh migran mencoba melakukan dengan menjalin kerja sama untuk menjadikan universitas sebagai pusat untuk melahirkan kebijakan.
"Jadi saya mendorong ke depan, seperti Unsoed mempunyai peran-peran yang strategis. Seperti kebijakan pemutihan penempatan TKI, itu juga tidak berbasis kajian. Jadi kita ingin memastikan seluruh keputusan, seluruh kebijakan yang dibuat pemerintah itu berbasis pada penelitian, bisa melibatkan universitas bisa melibatkan CSO, bisa melibatkan organisasi buruh migran," ucapnya.