Miliki Catatan Kriminal, Pemecatan Ipda Rudy Soik Dinilai Tepat
Hermawan melanjutkan sidang anggota dilakukan independen dan transparan.
Anggota polisi Nusa Tenggara Timur Ipda Rudy Soik dipecat setelah banyak melakukan pelanggaran etik. Namun, Ipda Rudy mengklaim dirinya dipecat karena membongkar mafia BBM. Panitia Seleksi Kompolnas menyatakan langkah Polda NTT sudah tepat untuk memecat anggota yang bermasalah.
Ketua Panitia Seleksi Anggota Kompolnas 2024, Hermawan Sulistyo mengatakan, Ipda Rudy memang mempunyai cacatan kriminal yang buruk. Bahkan sudah tiga diskors dan ditempatkan di sel.
- Keponakan Prabowo Ungkap Peran Ipda Rudy Soik Bongkar Kasus TPPO Wilfrida Soik hingga Mariance Kabu
- Kenal 15 Tahun, Anggota DPR Ini Sebut Rudy Soik Simbol Warga NTT Lawan Perdagangan Manusia
- Ipda Rudy Soik Datangi LPSK, Minta Perlindungan Usai Dipecat Gara-Gara Bongkar Mafia BBM
- Iptu Rudy Soik Melawan Usai Dipecat, Bakal Banding Putusan Sidang Etik
"Yang bersangkutaan punya catatan kriminal yang buruk. Dipanggil untuk sidang kasus BBM tidak mau datang. Kalau tidak merasa bersalah kan dia bisa membela diri di persidangan," kata Hermawan kepada wartawan, Senin (21/10).
Hermawan melanjutkan sidang anggota dilakukan independen dan transparan. Menurutnya, terdakwa sulit lepas kalau tidak mau hadir.
"Bawa penasehat hukum sendiri atau yang disediakan oleh polri. Kalau tidak puas ada mekanisme banding," kata Peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional.
Di kesempatan lain, Edi Hasibuan, Direktur Lembaga Kajian Strategis Polri (LEMKAPI) langkah Polda NTT merekomendasikan PTDH kepada Ipda Rudy pasti mempunyai alasan kuat dan indikasi penyimpangan.
"Kami berpandangan, polda berani memberikan putusan karena sudah melalui proses yang panjang dan lalu menetapkan PTDH," kata panitia Seleksi Anggota Kompolnas 2024 itu.
Dia melanjutkan, jika Ipda Rudy merasa diperlakukan tidak adil seharusnya melakukan banding atas putusan Komisi Sidang Etik Polda NTT yang sudah menetapkan pemecatan.
"Kinerja Soik mungkin selama ini banyak berantas BBM ilegal. Tapi semua harus mengikuti prosedur yang ada. Tentu hal ini yang harus kita tanyakan kepada Polda NTT. Apakah SOP sudah dilakukan dengan benar. Polisi tidak boleh salah dalam melakuksn tindakan hukum," katanya.
Sementara anggota Kompolnas Yusuf Warsyim menyarankam agar sesuai mekanisme diberi kesempatan Ipda Rudy Soik untuk banding atas Putusan KKEP. Pihak Polda juga harus merespon terbuka untuk menerima banding.
"Kompolnas akan memantau proses banding nantinya. Tentu proses sidang banding tetap harus profesional, transparan dan akuntabel. Terkait materi dugaan pelanggaran biar diperiksa kembali apabila dilakukan banding," katanya.
Diketahui, Polda Nusa Tenggara Timur membantah pemberhentian Inspektur Dua Rudy Soik hanya disebabkan pelanggaran kode etik saat menyelidiki kasus mafia bahan bakar minyak (BBM) saja. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Humas) Polda NTT Komisaris Besar Ariasandy menyebut ada 12 pelanggaran disiplin dan kode etik yang dilakukan Rudy Soik.
"Rudy Soik terlibat dalam 12 kasus pelanggaran selama bertugas, dengan tujuh di antaranya terbukti bersalah dan telah menjalani berbagai hukuman," ucapnya.
Ipda Rudy Soik melalui kuasa hukumnya, Ferdy Maktaen, melaporkan Kabid Humas Polda NTT Kombes Ariasandy dam Kabid Propam Polda NTT, Kombes Robert Anthoni Sormin, ke Divisi Propam Mabes Polri. Ferdy menyebut Ariasandy dan Robert sudah menyebar berita hoaks atas 12 laporan polisi terhadap Rudy Soik.
"Saya sudah sampaikan ke Pak Rudy bahwa saya yang akan melaporkan mereka ke Mabes Polri dalam waktu dekat karena tidak profesional dalam memberikan pernyataan kepada publik. Saya sendiri yang turun dengan membawa data dari 2014, karena saat itu saya sebagai kuasa hukumnya, jadi saya tahu persis kasusnya," ujar Ferdy, Sabtu (19/10).
Ferdy membantah pernyataan yang disampaikan oleh Polda NTT terkait 12 laporan polisi (LP) yang menjerat Rudy Soik sehingga divonis pemberhetian tidak dengan hormat (PTDH). Padahal, pada 13 November 2014 hingga Maret 2015, Rudy Soik sedang ditahan di rumah tahanan atas tuduhan penganiayaan saat membongkar mafia perdagangan orang yang melibatkan Polda NTT.