MK sidangkan gugatan MAKI soal PK tak halangi eksekusi mati
MAKI mengajukan permohonan ini untuk membantu Kejaksaan Agung dalam menjalankan eksekusi mati.
Mahkamah Konstitusi menggelar sidang uji materi Pasal 268 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diajukan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI). Pasal ini memuat ketentuan pelaksanaan Peninjauan Kembali (PK) tidak menghalangi eksekusi. Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengatakan pihaknya mengajukan permohonan ini untuk membantu Kejaksaan Agung dalam menjalankan eksekusi. Hal tersebut lantaran selama ini Kejagung selalu menunda eksekusi hukuman mati lantaran adanya PK berkali-kali. "Ini yang sebenarnya dasar permohonannya karena kami juga punya kepentingan terkait hukuman mati yang tersebar di sejumlah Undang-undang (UU)," ujar Boyamin dalam sidang di gedung MK, Jakarta, Senin (2/2). Boyamin mengatakan pihaknya hanya ingin agar MK memberikan penegasan atas norma dalam pasal tersebut. Hal itu dimaksudkan agar Kejagung tidak lagi ragu untuk mengeksekusi terpidana mati, terutama kasus narkoba. "Jadi jalan keluar yang bagus memberi penegasan dan perluasan makna pengajuan PK tidak menunda dan menghalangi eksekusi termasuk hukuman pidana mati," kata dia. Atas hal itu, Boyamin kemudian meminta MK untuk menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai 'termasuk hukuman mati'. Sehingga, menurut dia, status hukum dalam pasal tersebut merupakan konstitusional bersyarat. "Menyatakan Pasal 268 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'termasuk pula berlaku untuk putusan pidana mati'," terang dia. Menanggapi permohonan ini, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams memberikan saran kepada Boyamin untuk memperbaiki kedudukan hukum. Dia meminta agar Boyamin lebih memperjelas siapa saja korban dari pemberlakuan pasal ini serta bagaimana bentuk kerugian konstitusional yang diderita. "Ini bisa dijelaskan, korban-korban itu siapa saja dan menguraikan kerugian konstitusional pemohon. Ini juga kerugian pemohon atau Kejaksaan? Ini harus diuraikan," kata Wahiduddin. Selain itu, Wahiduddin juga meminta Boyamin mempertajam petitum. Menurut dia, Boyamin belum memberikan gambaran secara tegas bentuk pertentangan norma dalam pasal tersebut dengan UUD 1945. "Ini perlu diuraikan dalam permohonan," ungkap dia.
(mdk/did)