Pakar Hukum: PK tidak dibatasi asal ada novum
"Jadi kalau di KUHAP itu orang mengajukan PK itu seminimnya 3 kali," ujar Muzakir.
Pakar Hukum Ilmu Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Muzakir menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar tentang Ketentuan Peninjauan Kembali (PK) dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bukan hal keliru. Menurut dia pada hakikinya tidak ada batasan bagi seorang narapidana mendapatkan sebuah keadilan.
"Pengajuan Peninjauan Kembali (PK) itu dasar hukumnya ada," kata Muzakir saat dihubungi merdeka.com, Jumat (26/12).
Muzakir mengatakan, dasar hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) itu. Dalam KUHAP itu dijelaskan jika PK diajukan merupakan salah satu upaya hukum luar biasa seorang narapidana mencari keadilan.
Upaya hukum luar biasa itu pengecualian dari putusan persidangan di Pengadilan Negeri, sidang banding pada Pengadilan Tinggi, dan kasasi pada Mahkamah Agung. Selama ada novum (bukti baru) maka itu sah-sah saja.
"Jadi kalau di KUHAP itu orang mengajukan PK itu seminimnya 3 kali," kata dia.
Namun dengan merujuk KUHAP itu munculah perdebatan masyarakat mengenai adanya pembatasan PK. Menurut dia yang dibatasi sekali itu sebenarnya hanya novum.
"Mereka yang bersalah dan mengajukan PK sekali itu salah. Kalau dari KUHAP itu 3 kali," imbuhnya.
Meski narapidana tersebut memiliki bukti baru yang kuat (Novum), sebaiknya memang ada pembatasan PK. Sebab, jangan sampai terpidana yang sudah mengajukan novum malah mengajukan kembali bukti terbaru tersebut.
"Novum yang diajukan benar-benar baru yang mempunyai alasan berbeda," ujar Muzakkir.
Menurut dia, PK merupakan sarana bagi siapapun untuk mendapatkan keadilan, jadi tidak perlu dibatasi dengan alasan kepastian hukum. "Tetapi kalau memang orang yang hakikinya benar, PK itu adalah upaya terakhir," pungkasnya.
Sebelumnya hasil putusan MK mengenai PK berkali-kali kembali dikritik sejumlah pihak. Terlebih terkait dengan rencana kejaksaan agung mengeksekusi mati terpidana yang dijatuhkan vonis mati akhir tahun ini.
Lantaran empat dari enam terpidana mati mengajukan PK, maka eksekusi mati mereka ditunda. Di sinilah muncul perdebatan mengenai PK berkali-kali tersebut. Atas putusan MK itu, Kejagung dan Mahkamah Agung pun tengah membicarakan mengenai pembatasan PK bagi terpidana hukuman mati.