Pasukan Pelopor Polri lawan pemberontakan Qahhar Mudzakkar
Kopral Sadeli melepaskan tembakan, dan mengenai dada pria tersebut. Letkol Qahhar Mudzakkar tewas.
Cerita perjuangan polisi tidak hanya menumpas penjahat dan kriminal. Ini cerita tentang pasukan polisi melawan pemberontak, disarikan bertepatan dengan Hari Bhayangkara, hari ini.
Alkisah, pemberontakan setelah Indonesia merdeka terjadi di beberapa daerah, salah satunya Sulawesi Selatan. Letkol Qahhar Mudzakkar memilih angkat senjata karena kecewa dengan pimpinan Tentara Republik Indonesia (TRI).
Selama hampir 15 tahun Qahhar melawan pemerintah. Sama seperti Kartosuwiryo di Jawa Barat, Qahhar ingin menegakkan syariat Islam. Pada Konferensi Palopo 7 Agustus 1953, Qahhar menegaskan jika gerakannya adalah bagian dari Negara Islam Indonesia (NII).
Pemerintah langsung merespon dengan mengirim pasukan dari TT VII Wirabuana, kemudian Kompi A dan B dari Resimen Pelopor yang merupakan pasukan khusus. Pasukan dipimpin oleh Inspektur Satu Sumarni, perwira lulusan pendidikan Ranger tahun 1964. Pasukan itu berada di bawah BKO Kodam XIV/Hassanudin di bawah Pangdam Brigjen M Yusuf.
Di Palopo, pasukan Pelopor disebar ke beberapa wilayah. Peleton 1 ditempatkan di Massamba dengan Danton Aiptu Suripno, peleton 2 tetap di Palopo dengan Danton Aiptu Joko Sugiyono, sedangkan peleton 3 di Batus Tanduk dipimpin Aiptu Abdul Fatah.
"Setiap peleton Pelopor mendampingi satu kompi batalion TNI AD dari Kodam Siliwangi," demikian ditulis Anton Agus Setyawan dan Andi Muh Darlis dalam buku 'Resimen Pelopor Pasukan Elite yang Terlupakan.'
Kali ini, Resimen Pelopor benar-benar berhadapan dengan lawan tangguh karena hampir semua anggota Tentara Islam Indonesia (TII) di Sulawesi Selatan adalah bekas pasukan TNI AD. Bersama Qahhar, ada anggota TII yang ikut perang masa revolusi fisik tahun 1945 dan 1949.
Meski begitu, Resimen Pelopor yang sudah cukup pengalaman bisa meredam serangan para pemberontak. Mereka menerapkan taktik tempur bergerak di waktu malam, tidak mendirikan bivak dan bisa berpindah 4 sampai 5 kali. Strategi itu membuat pasukan TII kewalahan, jejak mereka diketahui dan pos-pos kecil berhasil dilumpuhkan.
Pada 1964 di Kendari, pasukan Pelopor kecolongan. Kala itu rombongan truk yang membawa logistik telah ditunggu oleh TII di kawasan perbukitan di Selatan Kendari. TII memasang trek bom dengan bahan utama TNT berdetonator. Setelah bom meledak, rentetan peluru muntah dari arah perbukitan seperti hujan deras. Komandan Resimen Pelopor terluka.
Kemudian, di Massamba peleton 3 kompi A Resimen Pelopor baku tembak dengan TII. Satu pasukan TII melempar granat, pecahan granat itu mengenai Agen Polisi Johan. Johan mengalami luka bakar parah di wajahnya.
Pasukan Qahhar bisa bertahan hingga puluhan tahun karena mereka menyamar dengan bertani, berdagang dan berinteraksi dengan rakyat. Dengan begitu pasokan logistik para kombatan selalu terpenuhi.
Selanjutnya dilakukan operasi antigerilya pemusnahan logistik, namun yang terjadi pertempuran terbuka di Sungai Lamase. Pasukan Qahhar berhasil menghindar, tetapi gudang logistik mereka akhirnya dikuasai oleh pasukan Resimen Pelopor dan Yon 330 Siliwangi.
Secara perlahan pemberontakan mulai surut, terlebih ketika orang kepercayaan Qahhar, Letkol Kadir Junus menyerahkan diri pada Januari 1965. Kadir membocorkan informasi jika Qahhar bersembunyi di Sungai Lasalo, Sulawesi Tenggara.
Satu tim dari Yon Kujang 330/Siliwangi mengepung persembunyian Qahhar, pada 3 Februari 1965. Sempat terjadi kontak senjata dengan para pengawal Qahhar.
Salah satu penyergap Kopral Sadeli melihat seorang pria keluar dari gubuk lalu melompat dengan membawa granat. Sadeli melepaskan tembakan, dan mengenai dada pria tersebut. Letkol Qahhar Mudzakkar tewas.
Peristiwa itu sekaligus mengakhiri pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan dibawah pimpinan Letkol Qahhar Mudzakkar.