PBNU Tanggapi Kebijakan Kemenag soal Label Produk Non-Halal
Pemerintah akan mulai memberlakukan kewajiban sertifikasi halal pada 18 Oktober 2024 mendatang
Pemerintah akan mulai memberlakukan kewajiban sertifikasi halal pada 18 Oktober 2024 mendatang
- BPJPH Tegaskan Wajib Halal telah Berlaku, Ini Sanksi Bagi Pengusaha Tidak Patuh
- Ternyata Ini Alasan Pemerintah Ngotot Produk UMKM Wajib Punya Sertifikat Halal
- Aturan Wajib Sertifikasi Halal UMKM Ditunda, Pedagang Jamu dan Gorengan Bisa Bernafas Lega
- PKL Wajib Punya Sertifikat Halal Mulai 18 Oktober 2024
PBNU Tanggapi Kebijakan Kemenag soal Label Produk Non-Halal
Pemerintah akan mulai memberlakukan kewajiban sertifikasi halal pada 18 Oktober 2024 mendatang.
Namun, ada beberapa yang nantinya akan dikecualikan seperti produk non-halal.
Untuk produk non-halal tersebut harus ada keterangan berupa gambar atau lainnya yang menjelaskan tentang produk itu non-halal. Namun, label itu yang nanti tidak mudah terkelupas dari produk.
Menanggapi hal itu, Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf mengatakan, lebih efisien jika yang diberi label merupakan produk non-halal dan bukan produk yang halal.
"Ya baik juga, sebetulnya itu lebih efisien kalau yang dilabeli itu non-halal ya, lebih efisien ya daripada melabeli yang halal," kata pria akrab disapa Gus Yahya kepada wartawan di Kantor PBNU, Jakarta, Kamis (18/4).
Sebelumnya, Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama, Muhammad Aqil Irham mengatakan, berbagai macam produk seperti minuman keras, makanan berbahan daging babi mendapatkan pengecualian sertifikasi halal.
"Produk non-halal dikecualikan dari kewajiban sertifikasi halal," kata Aqil Irham, dalam keterangan resminya dari laman BPJPH pada Senin (25/3).
"Seperti misalnya minuman keras, atau makanan berbahan daging babi misalnya, tentu saja tidak mungkin didaftarkan sertifikat halal. Artinya, dikecualikan dari kewajiban bersertifikat halal," kata Aqil.
Karena produk-produk tersebut dikecualikan dari kewajiban sertifikasi halal, maka produk-produk itu disebutnya tetap bisa diperdagangkan sekalipun pemberlakuan kewajiban sertifikasi halal sudah dimulai pada Oktober 2024 mendatang.
Namun dengan syarat, produk tersebut diberi penjelasan atau gambaran sejelas-jelasnya bahwa produk berbahan atau mengandung unsur non-halal.
Sebagai contoh, produk mengandung daging babi diberi keterangan dengan mencantumkan tulisan atau gambar babi di kemasan bungkusnya.
Hal tersebut sesuai ketentuan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 Pasal 92, bahwa pelaku usaha yang memproduksi produk yang berasal dari bahan yang diharamkan, wajib mencantumkan keterangan tidak halal.
Keterangan tidak halal itu dapat berupa gambar, tanda, dan/atau tulisan yang dicantumkan pada kemasan produk, bagian tertentu dari produk, dan/atau tempat tertentu pada produk.
Selanjutnya, Pasal 93 menyatakan bahwa produk yang berasal dari bahan yang diharamkan wajib mencantumkan keterangan tidak halal berupa gambar, tulisan, dan/atau nama bahan dengan warna yang berbeda pada komposisi bahan, misalnya dengan warna merah.
"Undang-Undang nomor 33 dan Peraturan Pemerintah nomor 39 tahun 2021 juga mengatur mengatur bahwa pencantuman keterangan tidak halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 dan pasal 93 harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," jelasnya.
Kemudian, menurutnya, regulasi Jaminan Produk Halal (JPH) tentu bertujuan menghadirkan perlindungan bagi seluruh makanan dan minuman yang halal maupun non halal.
"Prinsipnya, regulasi JPH bertujuan untuk menghadirkan perlindungan dan memberikan kemudahan bagi masyarakat bahwa produk yang halal itu jelas dan yang non halal juga jelas," imbuh Aqil.