Pedagang pasar tradisional tak rela ada mal di Bantul
Mereka merasa pusat perbelanjaan modern 'membunuh' pedagang biasa perlahan-lahan.
Pedagang di sejumlah pasar tradisional menolak pembangunan mal dan toko modern di Kabupaten Bantul. Mereka menghendaki Kabupaten Bantul mempunyai ikon ekonomi kerakyatan.
Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) pasar Piyungan, Bantul, Sukarno mengatakan, hadirnya mal dan toko modern dengan modal besar akan mematikan pedagang pasar bermodal terbatas. Dengan modal besar, mal dan toko modern bisa mendatangkan produk dalam jumlah besar dan dijual di banyak tempat.
"Contoh kecil saja dengan adanya toko modern itu membuat pedagang kelontong yang ada di perkampungan tidak laku," ujar Sukarno.
Sukarno melanjutkan, selama ini warung kelontong yang ada di perkampungan Bantul memasok barang dagangan dari pasar tradisional. Apabila warung kelontong di desa sepi pembeli maka berakibat sepinya pasar tradisional.
"Itu berdampak langsung ke pasar, mereka (pedagang kelontong) itu tidak lagi kulakan ke pasar tradisional," kata Sukarno.
Ketimbang mendirikan mal, Sukarno menyarankan lebih baik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bantul membangun pasar tradisional. Hal itu sesuai dengan ikon kota Bantul selama ini mengembangkan ekonomi berbasis kerakyatan.
"Lebih baik mengembangkan pasar tradisional, misalkan mengembangkan penataan barang, penataan ruang pasar, dan kebersihan pasar," ucap Sukarno.
Sukarno melanjutkan, selama ini pihaknya sudah melakukan penolakan dengan menggagalkan rencana pendirian toko modern di Munggur, Jalan Piyungan-Prambanan. Sukarno bersama Asosiasi APPSI pasar Imogiri juga melakukan penolakan pembangunan mal dan toko modern di Kabupaten Bantul.