Pemikiran Cak Nur diminta terus dikaji bukan dimatikan
Ommy Komariah Madjid, istri Nurcholis Madjid (Cak Nur), mengaku sedih munculnya kelompok membawa Paramadina mematikan pemikiran Islam plural dan demokratis dibangun suaminya. Dia merasa perkembangan Universitas Paramadina sudah kehilangan ruh perjuangan dan intelektualitas awalnya.
Ommy Komariah Madjid, istri Nurcholis Madjid (Cak Nur), mengaku sedih munculnya kelompok membawa Paramadina mematikan pemikiran Islam plural dan demokratis dibangun suaminya. Dia merasa perkembangan Universitas Paramadina sudah kehilangan ruh perjuangan dan intelektualitas awalnya.
Menurut dia, kelompok tersebut juga melarang menggelar dialog tentang pemikiran Gus Dur, Buya Syafii Maarif, dan Cak Nur. Hal ini disampaikan Ommy dalam keterangannya, Rabu (12/4).
"Saya sedih kemarin waktu di batalkan dialog ini di kampus Paramadina dan tak boleh diskusi di kampus yang dibangun oleh Cak Nur. Nama Paramadina ciptaan beliau dan kampus juga memakai nama Nurcholis Madjid supaya semua nilai yang disampaikan Cak Nur bisa diteruskan. Tapi saya menjadi sedih ketika sekarang justru diskusi tentang pemikiran beliau di Paramadina malah dilarang," ujar Ommy.
Ommy menjelaskan, semestinya pemikiran Cak Nur terus dikaji meski sudah wafat bukan dimatikan. Kondisi justru terbalik. Menurut dia, di Paramadina nilai demokrasi, keterbukaan dan pluralisme tak ada lagi.
"Bahkan sekarang banyak mahasiswa Paramadina yang mengeluh, kok kini tidak ini dan tidak boleh itu. Ini kafir ini munafik dan seterusnya. Inilah yang membuat saya sedih," jelasnya.
Kendati demikian, Ommy menyampaikan terima kasih karena semangat dari sebagian kalangan dan anak muda masih bersemangat membangun dialog dan diskusi keislaman. "Meski sedih tapi di sisi lain saya juga bergembira karena semangat intelektual anak-anak muda masih terus berkobar meskipun hawa di luar sana sangat panas. Mudah-mudahan diskusi di sini kita bisa merembugkan apa pemikiran tiga tokoh bangsa, yakni Gus Dur, Cak Nur, dan Buya Syafii Maarif," tandasnya.
Sementara itu, Ahmad Gaus mengatakan, sebenarnya pemikiran tokoh bangsa ini adalah bagian dari keprihatinan lantaran belakangan ini ada pihak mengembangkan suasana memanas dan menjurus pada perpecahan bangsa. Mereka suka mengancam pihak lain padahal itu tidak pernah dilakukan para guru bangsa.
"Kita prihatin karena banyak pemikiran yang kemudian bersinggungan hingga saling menuduh bahkan mengkafirkan pada momen pilkada. Tujuannya politik," ujar Gaus.
Dia menambahkan, suasana terbangun dalam Pilkada DKI berkembang menjadi sesat. Ini terjadi karena lupa pada pemikiran guru bangsa sudah meletakkan pondasi kehidupan berbangsa dan bernegara. "Inilah yang perlu direvitalisasi. Bukan malah dilarang, apalagi dihilangkan," lanjut Gaus.