Pemuda Indonesia-Belanda akan bikin buku sejarah pra-kemerdekaan
Proyek besar penulisan buku sejarah pendudukan Belanda di Indonesia akan dilaunching di Jerman.
Proyek besar penulisan buku fakta sejarah pendudukan Belanda di Indonesia akan dilaunching di Jerman pada 2015. Penulisan buku itu akan segera digarap. Sementara penelusuran jejak sejarah bakal dimulai dari Kota Surabaya, Jawa Timur. Buku ini akan membeber fakta sejarah kelam kemerdekaan Indonesia tahun 1945 melalui investigasi mendalam.
Penggarap buku adalah sekelompok anak muda dari Belanda dan Indonesia. Mereka bekerja sama membuat sebuah buku sejarah kejahatan perang pra-kemerdekaan Indonesia. Sebab, selama ini, fakta yang dipaparkan oleh kedua negara (Indonesia dan Belanda), saling bertolak belakang.
Koordinator pembuatan buku untuk Indonesia, Ady Setiyawan mengungkap, massa pendudukan Belanda di Indonesia selama satu abad, merupakan catatan sejarah kelam yang tidak bisa dilupakan begitu saja oleh bangsa Indonesia. Namun, hingga kini kebenaran belum terungkap secara gamblang.
"Apa yang diungkap oleh pemerintah Belanda dengan Indonesia ternyata tidak sinkron. Fakta yang terungkap saling bertolak belakang. Makanya kita ingin mengumpulkan fakta-fakta yang akan kita compare-kan dengan saksi dari sisa veteran-veteran perang di masing-masing negara," kata Andy yang juga pendiri komunitas Roode Bruge di Surabaya, Sabtu (12/10).
Andy menegaskan, proyek ini bukan untuk mengungkit luka lama. Tapi harus dipertanggungjawabkan, atas apa yang telah dilakukan Belanda kepada Indonesia. Di Surabaya, pertempuran 10 November pecah dengan ribuan korban jiwa, baik dari tentara kedua belah pihak maupun dari rakyat tak berdosa.
Kemudian di Bandung, di Jawa Tengah pada Agresi Militer II, tak terhitung lagi berapa korban jiwa akibat perang. "Tidak bisa mereka (Pemerintah Belanda) hanya dengan mengatakan 'I am apologise (minta maaf)' atas peperangan yang pernah terjadi. Bagaimana dengan pengeboman yang pernah dilakukan, bagaimana dengan penyiksaan itu, bagaimana dengan rakyat atau anak-anak tak berdosa tewas karena perang, bagaimana dengan eksekusi penduduk yang ditembaki," katanya.
Lebih jauh dia menjelaskan, proyek pembuatan buku yang akan melucuti semua fakta-fakta sejarah pra-kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, itu murni untuk membangun sebuah persahabatan Indonesia-Belanda, yang dimulai dari masing-masing individu. "Ini bukan atas dasar institusi atau pemerintah, tapi murni untuk kepentingan persahabatan, dimulai dari masing-masing individu kedua negara," tegasnya.
Maka dari itu, lanjut dia, studi mereka bakal membuat sebuah buku yang akan dilaunching pada 2015 di Jerman. "Kenapa di Jerman, karena proyek pembuatan buku ini disponsori salah satu perusahaan di sana." Untuk memulai itu, kelompok studi yang digagas oleh anak muda dari Indonesia-Belanda ini, akan menggali fakta sejarah di Surabaya, kemudian di Malang dan seterusnya.
"Di Malang, kami juga menemukan fakta ada rumah-rumah di desa, tepatnya di Desa Sutojayen, dan Desa Sumberejo, yang sampai saat ini masih utuh bekas pengeboman tentara Belanda. Nanti kita akan mewawancarai pelaku-pelaku sejarah yang masih hidup, baik yang di Indonesia maupun di Belanda," ungkapnya.
Sementara itu, perwakilan dari Belanda, Max Van der Werff, yang datang ke Surabaya bersama rekannya Marjolein, seorang fotografer mengatakan, Indonesia dan Belanda mempunyai hubungan sekitar 400-an tahun. "Saya membaca catatan sejarah di negeri saya (Belanda) dan Indonesia, ceritanya berbeda. Tujuan saya mengajak generasi muda, untuk bersama-sama mengerjakan proyek penulisan buku tanpa melibatkan negara. Proyek ini akan kita mulai dari masing-masing individu," katanya dengan Bahasa Inggris.
Di Indonesia, kata dia, tidak peduli apa itu masa 'bersiap'. "Di Belanda begitu mendengungkan bersiap-siap. Belanda tidak pernah mengakui kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Kita memiliki tujuan untuk rekonsiliasi. Saya melihat, pemerintah Belanda tidak pernah sungguh-sungguh melakukan investigasi apa yang dilakukan prajuritnya saat datang ke Indonesia," kata pria yang juga seorang konsultan perusahaan itu.
Saat datang ke Indonesia, masih menurut dia, dan bertemu dengan teman-teman Indonesia, ternyata apa yang diceritakan berbeda dengan sejarah yang diungkap di Belanda.
"Dan saya melakukan investigasi dengan teman-teman saya di Indonesia, ternyata banyak yang tidak diungkap oleh Belanda. Makanya kita akan ke desa-desa di Indonesia untuk mewawancarai orang-orang yang berusia 70 tahun, yang menjadi saksi sejarah. Ini untuk mengungkap cerita kebenaran. Mereka punya cerita, tapi apa yang terjadi jika mereka meninggal dua tahun ke depan, sejarah tak pernah terungkap. Dan generasi muda tak akan pernah tahu seperti apa sejarah itu sebenarnya," ungkapnya.
Van der Werff juga mengaku menyayangkan kekejaman perang yang mengorbankan anak-anak. "Saya yakin Indonesia-Belanda bisa membuat buku tanpa menuding siapa yang benar dan siapa yang salah. Ada banyak hal tidak kami tahu. Seperti di Candi, Jawa Tengah, peristiwa di Kaliprogo, ada 500 orang tewas. Nanti, hasil wawancara, semua arsip di Belanda akan kita compare dengan Indonesia. Jadi proyek (pembuatan buku) ini tidak main-main," ungkapnya lagi.
"Sejujurnya, saya tidak peduli orang (negara) mikir apa. Kami melakukan riset bukan untuk pemerintah, tapi untuk orang Belanda dan Indonesia. Kalau kita mikir politik, apa untungnya? Sejarah tidak akan pernah terungkap," tuturnya.
Sementara itu, untuk memulai proyek besarnya, mereka memulai dengan menyematkan bunga di Makam Kembang Kuning, Surabaya. Di tempat ini, ratusan lebih anak-anak kecil dari pasukan Belanda disemayamkan. Mereka adalah korban dari kekejaman perang.
Di tempat ini tersimpan cerita Perang Dunia ke-II pada 7 Desember 1941. Saat itu, Jepang mengadakan penyerangan tak terduga di Pearl Harbor. Selanjutnya pada bulan Febuari 1942, setelah Manila, Singapura, giliran Surabaya menjadi Pangkalan Laut terakhir dan terbesar di Asia Tenggara.
Selanjutnya, pada 26 Febuari 1942, beberapa Kapal Eskader Sekutu, yang terdiri dari Angkatan Laut Belanda, Inggris, Amerika dan Australia di bawah pimpinan Laksamana Angkatan Laut Belanda K.W.F.M Doorman bertolak dari Pelabuhan Surabaya untuk mencegah invasi Jepang di Jawa Timur.
Saat pertempuran melawan Jepang pada 27 Febuari 1942, di Perairan Utara Surabaya, yaitu di sekitar Pulau Bawean, tiga kapal Belanda, Kapal Hr Ms Kortenaer, Hr Ms Java dan Hr Ms De Ruijter, tenggelam. Sebanyak 915 prajurit Belanda termasuk Doorman tewas dalam pertempuran laut terpanjang dalam sejarah Perang Dunia II itu. Kini, mereka bersemayam di Makam Kembang Kuning, bersama anak-anak korban perang.