Penderita HIV/AIDS Boleh Menikah dan Punya Anak?
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkap, sebanyak 543.100 warga Indonesia yang menderita penyakit HIV/AIDS. Data tersebut setidaknya terekam Kemenkes pada tahun 2020.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkap, sebanyak 543.100 warga Indonesia yang menderita penyakit HIV/AIDS. Data tersebut setidaknya terekam Kemenkes pada tahun 2020.
Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Profesor Zubairi Djoerban menegaskan, masyarakat penderita HIV/AIDS masih memiliki harapan hidup. Meskipun hingga saat ini, virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh tersebut belum ditemukan obatnya.
-
Bagaimana cara mencegah penularan HIV? Untuk mencegah penularan HIV, dr. Rudi menekankan prinsip ABC: Abstinence (menahan diri), Be faithful (setia pada satu pasangan), dan Condom (penggunaan kondom).
-
Mengapa pengobatan HIV penting? Memulai rencana pengobatan sesegera mungkin setelah menerima hasil positif dari tes HIV sangat penting untuk kesehatan jangka panjang.
-
Apa itu HIV/AIDS? HIV/AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus HIV (human immunodeficiency virus) yang menyerang sistem kekebalan tubuh.
-
Bagaimana HIV dapat ditularkan? HIV (Human Immunodeficiency Virus) dapat menular melalui beberapa cara yang melibatkan kontak dengan cairan tubuh tertentu dari seseorang yang terinfeksi. Berikut cara penularan HIV yang utama: Hubungan Seksual Tanpa Pengaman Penularan HIV paling umum terjadi melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan seseorang yang terinfeksi, baik itu melalui hubungan vaginal, anal, maupun oral.
-
Apa itu HIV? Human immunodeficiency virus (HIV) adalah virus yang menyerang sel darah putih (sel CD4) pada sistem kekebalan tubuh.
-
Bagaimana cara menunjukkan kepedulian terhadap penderita HIV dan AIDS? Beragam acara digelar untuk memperingati Hari AIDS Sedunia, salah satunya mengenakan pita merah. Biasanya, pita merah akan disematkan di baju untuk menunjukkan kepedulian terhadap penderita HIV dan AIDS.
Ketua Satgas IDI penanganan Covid-19 ini mengatakan, penderita HIV/AIDS (ODHA) berhak untuk hidup seperti layaknya manusia normal. Misalnya, menikah dan punya anak.
Namun dia berbagi kiat tentang apa yang harus dan tidak boleh dilakukan penderita HIV/AIDS saat hendak menikah.
Menurut dia, bukan hanya ODHA, sebelum menikah masyarakat normal pun perlu melakukan pre marital screening check up. Kata dia, hal itu amat penting.
“Sebenarnya, bolehkah ODHA menikah? Lihat dulu rekam medis atau medical record-nya. Kalau viral load (VL) tidak terdeteksi dan kondisinya amat baik, kenapa tidak. Yang lebih krusial lagi adalah memberi tahu pasangan bahwa Anda itu berstatus ODHA. Harus terbuka,” kata dia, dikutip dari akun Twitter-nya, Senin (21/3).
Zubairi melanjutkan, bagaimana jika ada ODHA pria yang melamar ke seorang perempuan tapi dia baru saja memulai pengobatannya?
Menurut dia, bisa saja. Tapi pernikahan tidak boleh dilakukan bulan depan atau saat ini. Paling cepat tiga bulan. Enam bulan paling lama.
Zubairi mengungkap alasan kenapa harus menunggu enam bulan. Sebab, enam bulan merupakan jangka waktu pengobatan saat VL (tes untuk mengukur jumlah virus HIV dalam darah) tidak terdeteksi lagi.
"Saat itulah Anda boleh menikah. Sehingga tidak menularkan virus ke istri Anda," tegas dia.
Dia melanjutkan, apa yang terjadi ketika pernikahan tidak ditunda atau tidak menunggu enam bulan?
Tolong diingat. Pernikahan itu tidak hanya tentang hak asasi calon mempelai pria dan perempuan. Tentunya calon bayi juga tidak mau dilahirkan dalam kondisi dengan HIV kan, kata dia.
Lalu, apakah bayi dari ibu yang positif juga akan positif? Prof Zubairi mengatakan, kalau tanpa pengobatan risiko penularan 30-40 persen.
“Namun, begitu Sang Ibu minum obat Antiretroviral, maka, risiko bayi tertular itu pun menjadi nol,” terang dia.
Dia mengungkap, ibu yang positif HIV dengan bayi tidak ikut tertular banyak terjadi. Di berbagai negara. Termasuk di Indonesia. Asalkan minum obat Antiretroviral secara teratur sesuai anjuran dokter.
Terakhir, bagaimana dengan harapan hidup ODHA di Indonesia?
Kalau terkontrol, beberapa orang itu ada yang hidup lebih dari 25 tahun pascadiagnosis. Mereka tetap sehat dan fit.
“Yang (bertahan hidup) di atas 5, 10, dan 20 tahun juga banyak,” kata Zubairi.
(mdk/rnd)