Perjuangan hidup ibu-ibu buruh gendong Pasar Beringharjo Yogya
Mereka berangkat kerja dari pagi buta sampai matahari tenggelam demi selembar uang Rp 50 ribu.
Pagi-pagi buta Paila (46) sudah bangun. Dipacunya sepeda motor menuju terminal Kulonprogo. Setelah menitipkan motornya, dia kemudian langsung naik bus ke terminal Giwangan Yogyakarta, lalu menyambung perjalanan ke Pasar Beringharjo dengan bus lagi.
Jam baru menunjukan pukul 06.30 WIB, dia langsung bergegas ke lantai dua pasar Beringharjo. Selendang sebagai alat kerjanya sudah dikalungkan pada lehernya. Sampai di lantai dua, dia pun mulai mengangkut barang-barang dagangan pembeli dan juga penjual yang membutuhkan bantuan.
"Begini ini sehari-hari. Lha cuma buruh gendong begini paling sehari mentok dapat Rp 50 ribu," kata Paila yang akrab juga dipanggil Menuk saat ditemui merdeka.com, Selasa (22/12).
Paila adalah seorang ibu dari dua anak. Anak pertamanya Karmin (20) sudah menikah sedangkan anak keduanya Gonang (16) putus sekolah dan kini bekerja sebagai buruh serabutan.
Di hari ibu yang jatuh pada hari ini, 22 Desember, Paila tidak merasakan ada yang istimewa baginya. Dia tetap harus bekerja untuk mencari sesuap nasi.
"Saya malah nggak tahu kalau ini hari ibu. Ya, tahunya hari Selasa, wayahe (saatnya) kerja ya kerja," ungkapnya.
Setelah tahu jika hari ini adalah hari ibu, dia merasa tidak perlu diperlakukan spesial. Sebab baginya, apa yang dilakukan ibu pada anaknya adalah kewajiban.
"Lha nggak usah, saya itu yang penting anak saya bisa dapat kerja enak, jangan jadi buruh gendong seperti saya. Biar cukup saya saja yang susah, anak saya jangan," tuturnya.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Wartimen (66) warga Sorolaten, Godean yang juga buruh gendong di pasar Beringharjo. Di hari ibu ini dia sama sekali tidak berharap apa-apa untuk dirinya. Dia justru berharap kedua anaknya yang sudah menikah bisa hidup dengan layak.
"Anak saya itu SD saja nggak lulus, ya kerjanya juga jadi buruh. Kalau boleh berharap, pengennya anak saya hidupnya enak, kerjanya enak," katanya.
Meski hidup pas-pasan dari hasil sebagai buruh gendong, dia tidak pernah mengeluh pada anaknya. Sebagai ibu, baginya sudah merupakan kewajiban untuk membahagiakan anaknya.
"Dulu waktu anak saya masih kecil-kecil saya sudah jadi buruh gendong. Tapi nggak mau anak saya tahu kalau saya kerjanya capek begini. Tahunya mereka bisa tercukup. Tapi pas SD malah milih berhenti sekolah, terus kerja bangunan. Nggak tegel sama orangtuanya kerja begini," terangnya.