Petani dan AJI Purwokerto garap film dokumenter soal konflik agraria
Proses pembuatan film tersebut dimulai pada 16 September 2016 silam di beberapa kecamatan yang ada di Cilacap bagian barat meliputi Cipari, Cimanggu, Sidareja, Majenang dan Wanareja. Dalam konten film tersebut, terungkap beberapa persoalan yang melatarbelakangi terjadinya konflik agraria dan persoalan pasca 1965.
Persoalan agraria yang masih menyisakan pekerjaan rumah di kawasan Cilacap bagian barat menjadi menarik untuk didokumentasikan melalui media film dokumenter. Langkah tersebut dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Purwokerto bersama Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga dan Serikat Tani Mandiri (SeTAM) Cilacap, beberapa waktu lalu.
Proses pembuatan film tersebut dimulai pada 16 September 2016 silam di beberapa kecamatan yang ada di Cilacap bagian barat meliputi Cipari, Cimanggu, Sidareja, Majenang dan Wanareja. Dalam konten film tersebut, terungkap beberapa persoalan yang melatarbelakangi terjadinya konflik agraria dan persoalan pasca 1965 di wilayah tersebut.
"Isu yang melekat sekitar perampasan tanah bermodus tukar guling lahan dan pengusiran paksa warga dari kampung dan lahan pertaniannya. Dan hal itu diperkuat dengan wawancara mendalam bekas pelaku, bekas tahanan politik PKI dan juga masyarakat biasa, terutama kaum perempuan," ujar Ketua AJI Kota Purwokerto, Aris Andrianto, Minggu (2/10).
Ia mengemukakan, menemukan sejumlah fakta menarik yang jarang terungkap di ranah publik mengenai perampasan tanah berlatar peristiwa politik 1965 yang amat kental di wilayah tersebut.
Aris menyebut, pemerintah Orde Baru kala itu, menuduh ratusan warga yang telah mendiami sebuah kawasan selama puluhan hingga ratusan tahun dengan dalih terlibat PKI.
"Padahal, sebagian besar warganya buta huruf sehingga tidak tahu apa arti PKI atau organisasi underbouw-nya," ucapnya.
Sementara itu, Direktur CLC Purbalingga, Bowo Leksono mengatakan selain memotret tema konflik agraria, ada fakta lain yang terjadi di wilayah tersebut, yakni jejak eksekusi massal yang terjadi setengah abad silam. Beberapa tempat yang diduga kuat menjadi tempat eksekusi, kata Bowo, antara lain, berada di Jembatan Plengkung dan Pentus.
"Keduanya, sama-sama terletak di Sungai Cikawung yang membentang mulai dari Kecamatan Cimanggu hingga Wanareja. Serta, sejumlah situs yang diduga kuat merupakan kuburan massal korban pembunuhan massal pasca peristiwa 1965, meliputi situs kuburan massal Singaranting dan Hutan Kafir, Afdeling Selagedang," ujarnya.
Dugaan kuat tersebut, jelas Bowo, terungkap saat melakukan wawancara mendalam dengan beberapa saksi hidup peristiwa tersebut, yang meliputi wakil komandan pasukan operasi gabungan, penggali makam massal, penguruk makam massal dan penduduk setempat yang bisa menggambarkan situasi saat terjadinya konflik.
Ketua LSM Serikat Tani Mandiri (SeTAM), Petrus Sugeng menambahkan, di kawasan tersebut setidaknya ada 12 ribu hektare lahan yang disengketakan antara rakyat, perhutani dan militer.
Sugeng menyebut, sebagian besar diantaranya, berasal dari konflik yang disebabkan peristiwa politik antara 1950 hingga 1965.
"Sekitar 8 ribu hektare tanah rakyat di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah dirampas lantaran sang pemilik dianggap terlibat dalam peristiwa G30S/PKI dan DI/TII," ucapnya.