Polri Ungkap 397 Kasus TPPO Periode Oktober-November 2024, Total 904 Orang Selamat
Para pelaku berupaya mengirimkan para PMI secara ilegal, khususnya cacat administrasi seperti menggunakan visa yang tidak sesuai.
Polri bergerak cepat menangani kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dalam sebulan terakhir, yakni periode Oktober-November 2024. Hasilnya, ada sebanyak 397 kasus yang diungkap dengan 904 orang terselamatkan.
“Bareskrim Polri beserta seluruh jajaran sepanjang periode 22 Oktober sampai dengan 22 November 2024, satu bulan ini, telah berhasil mengungkap jaringan TPPO sebanyak 397 kasus, dengan tersangka sebanyak 482 orang, dan berhasil menyelamatkan korban TPPO sebanyak 904 orang,” kata Kabareskrim Polri Komjen Wahyu Widada di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (22/11).
- Hindari TPPO, Menteri P2MI Dukung PPLN Lampirkan Mutasi Buku Rekening Selama Setahun
- Polri Cek Kesehatan Personel Pengamanan Gudang Logistik KPU Kampar, Ini Hasilnya
- Polri Beri Dispensasi Perpanjangan SIM-STNK yang Mati saat Lebaran, Tak Akan Ditilang
- Polri Ungkap Situasi Keamanan Jelang Pencoblosan Pemilu 2024
Menurutnya, para pelaku berupaya mengirimkan para Pekerja Migran Indonesia (PMI) secara ilegal, khususnya cacat administrasi seperti menggunakan visa yang tidak sesuai, yakni kunjungan, ziarah, atau wisata, namun malah bekerja. Mereka juga berangkat tanpa pelatihan kerja dan cek kesehatan dari perusahaan resmi yang telah terdaftar di Kementerian Tenaga Kerja.
“Perusahaan yang mengirimkan PMI tidak terdaftar. Jadi mereka dikirimkan oleh perusahaan-perusahaan yang tidak terdaftar secara resmi di Kemenaker. Kemudian yang keempat, negara tujuan PMI tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Mau dikirim ke negara A, dikirimnya ke tempat lain, ya itu tadi menggunakan visa-visa yang tidak sesuai,” jelas dia.
Kemudian, penyidik menemukan juga bahwa jalur keberangkat PMI tidak sesuai dan resmi, alias melalui jalur-jalur tikus yang sering terjadi di wilayah perbatasan. Modus lainnya adalah pekerjaan yang diterima tidak sesuai dengan yang dijanjikan.
“Bahkan ada beberapa pekerja kita yang dijadikan pekerja seks komersial. Namun di dalamnya mereka dipaksa untuk menandatangani surat perjanjian jaminan utang, seola-olah mereka punya utang yang harus dibayarkan. Apabila mereka dipaksa untuk bekerja karena mereka harus membayar perjanjian uang utang tadi, ini adalah modus untuk mengikat mereka supaya mereka tetap mau bekerja,” ungkapnya.
Wahyu juga mengulas, pelaku mengambil paspor dan berkas administrasi lainnya dari PMI sesampainya di luar Indonesia, sehingga mereka tidak memiliki pegangan apapun. Hal itu agar mereka tidak dapat melarikan diri keluar dari negara tersebut.
“Modus melakukan eksploitasi anak. Pokoknya memperdayakan anak melalui aplikasi online untuk dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial. Kemudian juga dipekerjakan sebagai LC, kalau di negara kita di dalam negeri, kemudian juga sebagai PSK dan disalurkan ke beberapa negara lain di luar Indonesia,” ujar dia.
Pelaku memperdaya anak-anak bahwa nantinya akan bekerja dengan gaji besar, padahal diarahkan ke perusahaan, pabrik, atau perkebunan yang ilegal mempekerjakan anak di bawah umur di negara lain, khususnya kawasan Asia Tenggara.
Tidak ketinggalan modus mempekerjakan PMI sebagai anak buah kapal atau ABK, yang malah seenaknya dipindah dari kapal satu ke lainnya agar menyulitkan penegak hukum mendeteksi adanya praktik TPPO. Ada pula yang diberangkatkan sebagai ABK namun tidak dibekali dengan basic safety training dan administrasi yang sebenarnya.
“Tentu kalau korban ini juga dipaksa untuk memenuhi target-target pekerjaan, dan kalau tidak memenuhi target-target pekerjaan maka mereka juga akan menerima konsekuensi yaitu tindakan kekerasan dari para pelaku,” Wahyu menandaskan.
Atas perbuatannya, para dijerat dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dengan ancaman pidana penjara minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp120 juta dan paling banyak Rp600 juta.
Mereka juga dikenakan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerjaan Migran Indonesia, dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp15 juta.