Qanun Jinayah berlaku untuk gay, lesbian dan non-muslim di Aceh
"Siapapun yang melanggar syariat di Aceh yang menerapkan syariat Islam wajib tunduk pada Qanun Jinayah," kata Ramli.
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) di masa akhir masa jabatannya hendak mengesahkan Qanun Jinayah dan juga sejumlah qanun lainnya. Saat ini anggota DPRA tengah bersidang yang dimulai sejak 24-26 September 2014.
Qanun tersebut nantinya setelah disahkan untuk mengatur hukum bagi pelanggar syariat Islam di Aceh. Tak terkecuali, baik non-muslim, kaum gay dan lesbian bila melanggar syariat Islam bisa dijerat dengan qanun tersebut.
Ketua Komisi G DPRA yang menjadi leading sektor pembahasan dan perancangan qanun tersebut, Ramli Sulaiman mengatakan nanti qanun tersebut akan menghukum bagi pelaku pemerkosaan, mesum perzinahan.
Selain itu juga mengatur tentang perjudian, memabukkan bahkan berlaku untuk non-muslim, lesbian dan juga gay yang bila kedapatan melanggar syariat Islam di Aceh akan dijerat dengan qanun tersebut. Bagi yang melanggar nantinya akan dicambuk antara 10 hingga 200 kali cambuk.
Dalam pasal 61 dan 62 secara implisit jelas termaktup bahwa pelaku liwath (gay) dan musahabaqah (lesbian) juga akan dihukum dalam qanun jinayah tersebut. Hukuman bagi mereka maksimum 100 kali cambuk atau denda 1.000 gram emas.
"Siapapun yang melanggar syariat di Aceh yang menerapkan syariat Islam wajib tunduk pada Qanun Jinayah, termasuk non-muslim," terang Ramli Sulaiman, Rabu (24/9).
Kendati demikian dalam Qanun Jinayah juga diberikan pada hakim nantinya untuk memberikan opsi pada pelaku pelanggar syariat Islam untuk memilih hukum jinayah atau hukum pidana yang berlaku secara nasional.
"Non-muslim ada kita memberikan kelonggaran, kalau mau kita jerat, kalau menolak bisa memilih Kitab Undang-undang Pidana. Prinsipnya mereka ini tidak bisa lepas dari jeratan hukum, meskipun harus diutamakan terlebih dahulu hukum Jinayah," tegasnya.
Kata Ramli, penting diutamakan dijerat dengan Qanun Jinayah untuk menghindari adanya orang yang kebal hukum. Karena saat siapapun berada di Aceh, maka harus mengikuti hukum yang berlaku di Aceh.
"Yang penting mereka harus menghormati rumah kita sendiri, jangan gaya di eropa dibawa ke Aceh. Siapapun yang datang ke Aceh harus ikut aturan yang berlaku di Aceh," imbuhnya.
Kemudian kalau memang tidak terdapat klausul hukum dalam undang-undang nasional, kata Ramli, itu semua akan diserahkan pada penyidik dan juga hakim Mahkamah Syariat nantinya yang akan memutuskan.
"Itu kita serahkan pada hakim nantinya. Apa lagi qanun ini secara prinsip sudah dikoordinasikan dengan Mahkamah Agung RI, Menkopolhukam, Mendagri dan juga disepakati oleh semua fraksi di DPRA," terang Ramli.