DPR tak hadiri sidang gugatan Setya Novanto di MK
Setnov mengajukan uji materi lantaran merasa dirugikan atas penyadapan dilakukan Dirut PT Freeport, Maroef Sjamsoeddin.
Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materi Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), UU pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), dan Undang Undang tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP), yang diajukan mantan Ketua DPR, Setya Novanto. Sidang dengan agenda mendengarkan keterangan DPR ini kembali dilanjutkan nanti menyusul tidak hadirnya perwakilan dari anggota DPR karena tengah reses.
"Pihak DPR tidak menghadiri persidangan karena sedang masa reses," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Arief Hidayat dalam persidangan di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (19/5).
Diberitakan Antara, Setnov mengajukan gugatan ini lantaran merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE. Kedua pasal tersebut mengatur bahwa informasi atau dokumen elektronik merupakan salah satu alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan yang sah.
Selain itu, Setnov juga merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 26A UU Tipikor terkait alat bukti yang sah. Menurut Novanto ketentuan-ketentuan tersebut tidak mengatur secara tegas tentang alat bukti yang sah, serta siapa yang memiliki wewenang untuk melakukan perekaman.
Sidang perdana perkara tersebut digelar pada Rabu (24/2) di Ruang Sidang MK. Dalam uji materi yang diwakilkan kuasa hukumnya Muhammad Ainul Syamsu, pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor. Pasal 88 KUHP menyatakan:
"Dikatakan ada permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan".
Sementara, Pasal 15 UU Tipikor menyatakan "Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14".
Pemohon menjelaskan telah dijerat dengan kedua pasal tersebut. Pemohon menilai bahwa pengertian tentang 'pemufakatan jahat' dalam Pasal 88 KUHP yang juga menjadi acuan bagi beberapa undang-undang, termasuk oleh UU Tipikor, tidak jelas dan berpotensi menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi akibat penegakan hukum yang keliru.
"Pemohon menganggap bahwa Pasal 88 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tidak memenuhi syarat laik serta, tidak dirumuskan secara cermat, sehingga berpotensi menghilangkan kepastian hukum dan membuka ruang terjadinya pelanggaran hak asasi dalam penegakan hukumnya," ujar Ainul di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar tersebut.
Menurut pemohon, pengertian pemufakatan jahat dalam pasal 88 KUHP, sesuai apabila diterapkan terhadap tindak pidana umum. "Sebab, jika dipergunakan pula dalam tindak pidana khusus seperti pada UU Tipikor yang mensyaratkan kualitas tertentu, akan berpotensi memunculkan kesewenang-wenangan sebagaimana yang saat ini secara nyata dialami Pemohon," imbuhnya.
Ainul mencontohkan, penerapan Pasal 88 KUHP terhadap tindak pidana umum yang tidak mensyaratkan kualitas tertentu adalah Pasal 110 ayat (1) KUHP. Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa pemufakatan jahat untuk melakukan kejahatan menurut Pasal 104, 106, 107 dan 108 UU KUHP diancam berdasarkan ancaman pidana dalam pasal-pasal tersebut. "Delik-delik ini bersifat umum dan tidak mensyaratkan kualitas tertentu, sehingga siapapun dapat melakukan kejahatan terhadap negara atau kepentingan negara sebagaimana yang diatur dalam pasal-pasal tersebut di atas," kata Ainul.
Terkait dengan status hukum pemohon sebagai terperiksa kasus dugaan Tipikor, sejumlah pemberitaan di media massa memuat pemberitaan yang menyatakan bahwa Direktur Penyelidikan Jaksa agung Muda Tindak Pidana Khusus memandang Pemohon terlibat dalam permufakatan jahat untuk memperpanjang izin divestasi saham PT. Freeport Indonesia. Sementara, menurut pemohon, hal tersebut mustahil dilakukan karena dirinya tidak pada posisi yang memiliki kewenangan untuk melakukan hal tersebut. Dalam kasus Pemohon, Pasal 88 KUHP diterapkan terhadap delik-delik kualitatif, seperti Pasal 3 UU Tipikor yang mencantumkan penyalahgunaan wewenang sebagai unsur delik. Padahal dalam Pasal 3, pembuat deliknya haruslah pejabat yang mempunyai kewenangan tertentu.
"Pertanyaannya adalah apakah bisa pemufakatan jahat terhadap pidana korupsi dalam Pasal 3 Undang-Undang Tipikor tersebut diterapkan terhadap orang yang sama sekali bukan pejabat atau tidak mempunyai kewenangan apapun. Terkait hal ini, Pasal 88 tidak mengatur secara jelas sehingga menimbulkan multitafsir dan pada akhirnya berpotensi melanggar hak asasi orang yang menjalani proses hukum," papar Ainul.
Berdasarkan dalil tersebut, pemohon meminta frasa 'pemufakatan jahat' dalam pasal 88 KUHP yang kemudian diadopsi oleh pasal 15 UU Tipikor harus dimaknai dan ditafsirkan kembali oleh MK karena ketidakpastian hukum dalam frasa tersebut dapat menjadi cikal bakal kesewenang-wenangan negara terhadap rakyatnya sebagaimana yang dialami oleh Pemohon.
"Menyatakan ketentuan dalam pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Tipikor tersebut sebatas berkaitan dengan frasa 'pemufakatan jahat' sepanjang tidak dimaknaidengan 'dikatakan ada pemufakatan jahat bila dua orang atau lebih yang mempunyai kualitas dan kapasitas untuk melakukan tindak pidana bersepakat melakukan tindak pidana' adalah bertentangan dengan UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ujar Ainul.
Dalam kasus Novanto, Kejaksaan Agung melampirkan alat bukti terhadap dugaan terjadinya tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia dari rekaman pembicaraan yang direkam oleh Maroef Sjamsoeddin. Kasus ini disidang secara etik oleh MKD DPR dengan keputusan menyatakan hasil sidang dianggap selesai setelah Setnov mengundurkan diri sebagai ketua DPR.
Baca juga:
Setya Novanto jadi Ketum Golkar, apa kabar kasus Papa Minta Saham?
Kasus Papa Minta Saham usai, kini Setnov mulai puja-puji Jokowi
Pertemuan Jokowi-Setnov usai kasus 'papa minta saham'
Gugatan terkait lanjutan kasus 'Papa Minta Saham' berakhir mediasi
Gara-gara 'Papa Minta Saham', Setya Novanto ajukan uji materi di MK
Kejagung kurang bukti naikkan kasus 'Papa minta Saham' ke penyidikan
Jaksa Agung dinilai terlalu bersemangat usut kasus pemufakatan jahat
-
Mengapa Jokowi memaksa Freeport membangun smelter di Indonesia? Untuk itu, Jokowi memaksa PT Freeport membangun industri smelter tembaga di Gresik.
-
Siapa yang mendapat santunan duka dari Jokowi? Santunan diberikan kepada 12 orang penerima simbolis terdiri atas perwakilan penerima bantuan rumah rusak berat, sedang, ringan, dan ahli waris korban meninggal dunia.
-
Siapa yang meminta tanda tangan Presiden Jokowi? Pasangan artis Vino G Bastian dan Marsha Timothy kerap disebut sebagai orang tua idaman. Pasalnya demi impian sang anak, Jizzy Pearl Bastian, pasangan orang tua ini rela melakukan segala cara.
-
Bagaimana Serka Sudiyono mendapatkan hadiah sepeda dari Presiden Jokowi? Saat itu pula Serka Sudiyono mendapat hadiah sepeda dari Presiden Jokowi. Ia pun tak menyangka, hari di mana ia mendapat hadiah sepeda itu merupakan hari ulang tahun istri dan anak pertamanya. Sepeda itu langsung dipakai oleh anaknya ke sekolah.
-
Kapan anak buah Jokowi minta tambahan anggaran? Sejumlah menteri dan pimpinan lembaga pemerintah ramai-ramai meminta tambahan anggaran kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
-
Kapan Jokowi memakai Ageman Songkok Sikepan Ageng? Pada upacara peringatan HUT ke-78 RI, Presiden Jokowi tampil menggunakan pakaian adat.